BALADA PRIA 65 TAHUN

Marilah kita membaca tulisan Slamet Rahardjo yg sangat baik bagi kita untuk kita renungkan.

*BALADA PRIA 65 TAHUN*

oleh A. Slamet Raharjo

*Rasanya belum lama, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Anak-anak yang dulu kecil, tak terasa besar dengan sendirinya, mereka sudah jadi sarjana dan kerja, sudah punya anak yg lucu lucu. Kita kita sudah punya cucu, kita sudah tidur dengan nenek², tapi ada teman2 kita yg anaknya belum kawin karena telat kawinnya.

Bahagianya dekat cucu, karena dulu dengan anak tak dekat, tak banyak waktu, saat itu sedang berat-beratnya bekerja, kurang waktu untuk mereka.

*Rasanya belum lama, ternyata sudah 65 tahun umurnya*.

Burung yg dulu perkasa, sekarang sudah kurang berdaya, kalaupun bisa: may be yes, may be no, malah ada yang sudah disfungsi.

Semakin tua, istri juga mulai malas melayani, kalau melayani setengah terpaksa, menopause bikin susah menikmatinya. Akibatnya kena prostat. Tapi kalau lihat barang bening, mata masih nakal, pikiran masih binal, tapi hanya sampai disitu. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.

*Rasanya belum lama, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Sudah mengalami pahit manis getirnya dunia, asin hambar kecut gurihnya bumi. Dulu banyak yg orang tuanya melarat, moto orang tua dulu: banyak anak banyak rejeki. Ternyata tidak begitu, hidupnya jadi berat dan melarat. Bisa kuliah di Universitas, itu sebuah keberuntungan. Kebanyakan kuliah dengan biaya sendiri, sambil kuliah ngajar/ngasih les, sambil kuliah nyopir taksi, sambil kuliah bikin skripsi, sambil kuliah *jual beli*: jual celana beli nasi.

Bekerja keras, bertahan hidup, alhamdulilah lulus, lalu merangkak dari bawah, berjuang menjadi kepala kereta api, menggeret gerbong keluarga, membiayai saudara agar lulus sarjana, membiayai orang tua yg kehabisan dana. Tak mengeluh dan mengaduh, menjalaninya dengan ikhlas dan gembira.

*Rasanya belum lama, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Momen paling bahagia adalah ketika diterima di Universitas, ketika lulus jadi sarjana: yang pinter jadi peneliti atau dosen, yang malas dan nyontekan malah jadi bos. Yg jadi wiraswasta, mentalnya harus jadi orang kaya, modalnya nyali dan doa, harus berani ngomong besar, harus kerja keras, tidak siang tidak malam, kerja, jatuh, bangun lagi, jatuh, bangkit lagi, hingga kurang waktu untuk anak2, kurang waktu untuk isteri.

Ada yg beruntung sukses, ada yg tidak beruntung nyungsep, rejeki tak bisa dikejar, kalau waktunya tiba, rejeki datang sendiri, tapi kalau tanpa usaha, mana mungkin rejeki menghampiri. Alhasil sejak umur empat puluhan, banyak yg sudah mulai terjaga: rumah mobil tanah sudah ada, piknik keluar negeri, makan mahal dan nginap di hotel berbintang, nonton musik dan nyawer.

*Rasanya belum lama, ternjata sudah 65 tahun umurnya.*

Waktu kerja dulu adalah waktunya mencari dan menyimpan, waktu sudah tua, waktunya pensiun berhenti kerja, waktunya menjaga harta dan melepas perlahan sesuai kebutuhan agar di masa tua aman, bisa mencukupi semua kebutuhan, syukur bisa memberi warisan, bisa mengurus kebutuhan sendiri tanpa mengganggu anak, karena anak kita punya kebutuhan sendiri.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Sudah saatnya pikirkan masa depan bila diberi hidup 10 tahun lagi, berapa kebutuhan 10 tahun ke depan, berapa dana yang harus disimpan, taruh dana di deposito, pilih bank meyakinkan, walau kecil bunganya tapi aman. Dana cadangan tunai harus cukup, apalagi kalau tak ada asuransi, bila ada yang sakit dibutuhkan, bila ada kebutuhan mendadak, diperlukan.

Investasi di masa tua dihindari, salah salah habis merugi, salah salah mewariskan hutang. Siapkan dana tunai yang cukup, aset yg ada dijual, berlian, emas kalau perlu dijual, rumah yg besar dan luas, kalau terpaksa dijual juga lalu beli rumah yang dibutuhkan, bukan yang diimpikan, atau tinggal di apartemen, bahkan tinggal di panti jompo, toh kembali pokok, tinggal berdua, anak anak sudah meninggalkan rumah, sudah 4 L: lu lagi, lu lagi.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Harus bersiap tinggal di panti jompo, tidak perlu gengsi, tidak perlu malu, jaman sudah berubah, tak perlu dengar gunjingan orang karena akan banyak panti jompo bagus, di situ ada banyak fasilitas lengkap: ada suster, dokter yg setiap saat bertugas, ada menu makanan sehat berkualitas, karena anak anak belum tentu punya waktu mengurus, seperti saat mengurus mereka.

Bukankah sekarang terasa rumah membebani, biaya listrik, air dan iuran sarana, besar. Ketika pembantu tak ada, sopir tak ada, baru terasa beratnya urusan rumah. Padahal capai sedikit badan sudah menjerit, malah malah bisa jatuh sakit. Biaya kesehatan makin besar, seperti memelihara mobil tua. Ternyata makin tua, makin kaya, makin kaya penyakit.

Kesehatan jadi urutan pertama, sehat ukurannya gampang, tidur nyenyak, makan enak, dan lancar berak.

*Rasanya belum lama, ternyata sudah 65 tahun umurnya*.

Saatnya jangan terlalu pelit untuk diri sendiri, sudah cukup cinta dan materi, kepada anak, isteri, orang tua dan saudara, kita beri. Saatnya memperhatikan diri. Siapkan duit untuk kebutuhan ini. Celakanya, saat muda mau makan enak duit tak ada, saat tua, duit ada, makan enak tak bisa. Itu namanya *apes*. Polisinya istri dan anak, mereka galak semua. Ini dilarang, itu dilarang, ketika lemes, pusing dan sakit2an, dibilang dokter kurang gizi. *Alamak!*

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Celaka, kita masih memikirkan masa depan anak kita, bahkan cucu kita. Ingin membantu keuangan mereka, merasa itu tanggung jawab kita. Kita jadi stres sendiri, kita bisa stroke malah bisa out. Bukankah anak anak punya rejeki masing masing? Kita tidak boleh terlalu protektif, bisa bisa mereka tidak mandiri. Tugas kita sebagai orang tua adalah mengenalkan anak ke Sang Pencipta, memberi panutan dan tuntunan, mengajarkan moral dan budi pekerti, membiayai anak jadi sarjana, bisa membiayai perkawinan mereka, bisa kasih uang muka rumah sederhana, *yang terpenting* memberi waktu, perhatian dan cinta.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Anak anak keluar rumah, mereka sudah berkeluarga, di rumah tinggal berdua, rumah besar yg dimimpi, sudah ada dan nyata, tapi sunyi.

Di rumah ada isteri, teman bercanda, berbagi rasa, teman dalam untung dan malang, partner berbincang juga partner perang, bisa perang mulut atau perang bisu, kata orang, itu buahnya pernikahan. Semua itu tidak mengapa, itu biasa, selama menyempurnakan rumah tangga, asal menambah kemesraan dan cinta.

Isteri tambah tua, tambah pula bawelnya, tambah pula bobotnya, tambah banyak cemburunya. Itu dari sononya, terima saja. Kita juga begitu, gampang tersinggung, gampang marah, merasa mau menang, padahal kurang memberi uang, malah kadang ngutang.

Kita sekamar tapi nonton TV nya beda. Kita suka film action, dia suka drama Korea, manusia diciptakan berbeda, justru itulah keindahannya, seperti pelangi di cakrawala, indah karena kombinasi berbagai warna.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Dulu waktu muda, semua sibuk, di luar sibuk kerja, ada isteri kerja, ada isteri jadi ibu rumah tangga, waktu berdua terbatas karenanya.

Saat tua ada baiknya, banyak waktu bersama, berjalan, bergandengan tangan, beribadah, ziarah dan piknik bersama, saling memberi saling melayani, saatnya menambal luka.

Saatnya mesra, saatnya berbagi suka, karena sejatinya, istri adalah garwo, sigaraning nyowo. Istri adalah pembawa rejeki kita.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Ketika berhenti kerja, saatnya bisa mengisi hari hari, mencari passion kita.

Yg hobi menulis, menulislah, yg hobi melukis, melukislah, yg hobi membaca, membacalah, yg hobi tanaman, bertanamlah, yg hobi menyanyi, menyanyilah, yg hobi kerja, bekerjalah, boleh kerja tapi yang ringan saja. Raga harus aktif, pikiran harus dilatih stay happy,. Otak harus on, seperti naik sepeda, kalau berhenti, jatuh bangun lagi.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Teman teman berguguran, kita antri menunggu panggilan, yang alim, dermawan dan baik, biasanya duluan.

Waktunya bertobat, belum terlambat, waktunya dengan Allah, kita dekat. Waktunya taat beribadah, waktunya banyak amal kita buat, waktunya kita membuat wasiat, membagi warisan untuk anak kita, supaya tidak menjadi bencana, bila terjadi sesuatu pada kita. Semua tahu semua terencana, karena warisan itu bermata dua: bisa jadi hadiah, bisa jadi musibah, setidaknya kita bisa mengantisipasi.

*Rasanya baru kemarin, ternyata sudah 65 tahun umurnya.*

Anak-anak sekarang bukan seperti kita dulu, nurut sama orang tua. Mereka kini punya pendapat sendiri, kadang kita tidak mengerti. Kita tidak bisa memaksa, hanya bisa mengarahkan dan memberikan nasehat bila didengar. Belum tentu anak kita mau melanjutkan usaha kita, yang nyata sudah terbukti hasilnya. Bila anak lelaki kita kawin, kita harus siap kehilangan, bila anak perempuan kita kawin, mudah mudahan ia masih kita miliki, harta berharga kita hanyalah *melihat anak*.

Mereka bahagia, kita ikut bahagia, semua pencapaian kita, akan *tidak berarti* ketika anak kita gagal.

Komentar