𝐒𝐞𝐫𝐢𝐚𝐥: 𝐀𝐃𝐀𝐁 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐌𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐍 𝐁𝐄𝐑𝐔𝐊𝐇𝐔𝐖𝐖𝐀𝐇
Oleh: Irsyad Syafar
𝟓. 𝐈𝐊𝐇𝐋𝐀𝐒 𝐃𝐀𝐍 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐏𝐀𝐌𝐑𝐈𝐇
𝐈𝐤𝐡𝐥𝐚𝐬 𝐩𝐨𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐮𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐚𝐦𝐚𝐥 𝐬𝐡𝐚𝐥𝐞𝐡
Para ulama sepakat bahwa syarat pertama dan utama diterimanya sebuah amal shaleh adalah niat yang ikhlas. Yaitu sebuah amalan dilakukan semata-mata mengharapkan ridha dan pahala dari Allah. baik amalan tersebut sebuah ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, naik haji, berjihad di jalan Allah, atau ibadah yang bukan mahdhah berupa kebaikan umum yang bernilai ketaatan kepada Allah dan RasulNya, seperti silaturrahim, mengajar, bertani, berdagang dan lain-lain. Allah Swt berfirman menegaskan pentingkan sebuah amal itu hanya karenaNya:
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا. (الكهف: 110).
Artinya: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS Al Kahfi: 110).
Prof. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya "Al Wajiz" menjelaskan ayat ini, berkata: "Termasuk ciri orang mukmin dalam beramal, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh di dunia. Yaitu berupa segala yang ditunjukkan oleh syariat bahwa sesuatu tersebut mengandung kebaikan dan pahala. Serta tidak mempersekutukan Tuhannya dengan sesuatu apapun dalam penyembahan-Nya."
Syekh Abdurrahman As Sa'di menyatakan dalam tafsirnya: "Firman Allah, "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang shalih," yaitu amalan yang selaras dengan aturan syariat Allah, yang wajib maupun sunnah. Dan perkataanNya, "dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya," maksudnya tidak berbuat riya' dengan amalanya, tetapi hendaklah dia mengamalkannya dengan ikhlas karena Wajah Allah.
Dalam hadits yang sangat terkenal, Rasulullah Saw sudah menjelaskan pentingnya posisi niat dalam segala bentuk amalan:
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. (متفق عليه).
Artinya: "Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan." (HR Bukhari dan Muslim).
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, "Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah."
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas; tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat. Dan mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia). Sedangkan Al Fudhail bin 'Iyadh mengatakan, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya'. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi."
𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐢𝐤𝐡𝐥𝐚𝐬 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐮𝐝𝐚𝐫𝐚
Berteman dan berukhuwwah juga merupakan sebuah amal shaleh yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw. Karenanya, amal ini butuh keikhlasan dalam melakukannya. Bahkan pertemanan dan persaudaraan dalam Islam itu sangat penuh dengan dinamika dan tantangan, sehingga memerlukan tingkat keikhlasan yang tinggi. Jika tidak, hal-hal sepele kadang bisa menjadi penyebab bubarnya sebuah pertemanan. Terutama hal-hal yang bersifat sangat duniawi.
Kita mungkin agak mudah dalam merawat pertemanan dalam kondisi dan situasi yang aman-aman saja. Tapi, baru akan teruji pertemanan itu bila sudah terkait dengan pengorbanan dan kesusahan. Saat itulah teman baik menjadi sangat langka dan sedikit. Ibaratnya, "Teman tertawa itu banyak. Sedangkan teman saat menangis amatlah sedikit."
Maka hanya persaudaraan yang ikhlaslah yang akan berumur panjang dan dapat bertahan lama. Indikatornya adalah:
1. Meniatkan persaudaraan itu semata-mata karena Allah.
2. Tidak mengharap-harap pujian manusia dan tidak takut akan celaan mereka.
3. Kesamaan sikap antara yang lahir (tampak) dan yang batin (tersembunyi).
4. Mengharap balasan amalannya dari Allah di akhirat, alias tidak pamrih
Pertemanan yang ikhlas adalah dengan mencintai orang lain karena Allah, tidaklah memandang faktor kekerabatan, kepentingan bisnis, politik dan keuntungan dunia lainnya. Ketika itulah akan betul-betul terasa manisnya keimanan. Sebagaimana Rasulullah Saw sampaikan 3 hal yang akan merasakan lezatnya iman:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. (رواه البخاري).
Atinya: Dari Anas, dari Nabi Saw Beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka." (HR Bukhari).
Mencintai dan membenci karena Allah merupakan bukti ikatan iman yang paling kuat. Sebab, standar loyalitas atau tidaknya mengacu kapada ta'at kepada Allah Swt. Di dalam haditsnya Rasulullah Saw bersabda:
«أوثق عرى الإيمان: الموالاة في الله والمعاداة في الله، والحب في الله، والبغض في الله» (رواه الطبراني).
Artinya: "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyal karena Allah, memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah." (HR Ath Thabrani).
𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧
Ukhuwwah yang ikhlas ditandai dengan memberikan perhatian atau pertolongan kepada teman dekat atau saudara tersebut bila ia sedang membutuhkan, baik saudara tersebut tidak memintanya apalagi kalau memang ia memintanya. Tanpa juga berharap setelah itu ia akan memberikan perhatian atau bantuan kepada kita. Sebab orang yang beriman sangat menyadari bahwa membantu orang lain (apalagi ikhwah sendiri) pada hakekatnya membuka peluang Allah membantu banyak urusan kita. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللهُ في عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. (رواه مسلم).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan (utang), maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaraya." (HR Muslim).
Dan kemudian perhatian, bantuan dan pertolongan itu diberikan semata-mata karena Allah, tidak mengharapkan balasan atau ucapan terimakasih. Walaupun tentunya seorang saudara yang baik, bila sudah dibantu pasti ia akan berterimakasih dan mengingat kebaikan tersebut. Tapi itu bukanlah suatu yang diharapkan. Allah memuji sifat orang beriman yang membantu saudaranya karenaNya semata, tidak pamrih sama sekali:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا. إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا. (الإنسان: 8-9).
Artinya: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (QS Al Insan: 8-9).
𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭-𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭 𝐣𝐚𝐬𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠
Diantara indikasi keikhlasan dalam bersaudara adalah tidak menyebut-nyebut jasa kita kepada saudara yang sudah dibantu. Pertama, hal itu akan membuatnya terbebani dan akan bersedih. Ternyata saudaranya tidak ikhlas membantunya. Bahkan kemudian diungkit kembali. Kedua, karena pahala kita membantunya menjadi sirna dan tak berharga.
Allah Swt menyeru orang beriman yang telah bersedekah atau memberi bantuan kepada orang lain, agar tidak membatalkan (pahala) sedekah tersebut dengan menyebut-nyebutnya dan dengan menyakiti orang yang telah menerimanya. Perbuatan itu akhirnya menjadi tidak ikhlas alias riya, dan pahalanya habis terkikis bagaikan debu di atas batu licin yang ditimpa hujan lebat. Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ. (البقرة: 264).
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS Al Baqarah: 264).
Mengungkit jasa dan bantuan masa lalu kepada seseorang, apalagi diungkapkan dihadapan orang banyak dan yang bersangkutan juga hadir, atau mejadikannya sebagai bentuk pencitraan atau popularitas, sesungguhnya itu semua menunjukkan kita pamrih dalam bersaudara dan membantu. Dan itu sangat jauh dari makna ikhlas.
𝐏𝐞𝐫𝐬𝐚𝐮𝐝𝐚𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐨𝐫𝐦𝐚𝐭
Persaudaraan yang sangat mulia yang pernah ditunjukkan di muka bumi ini yang sangat sulit terulang kembali adalah persaudaraan antara muhajirin dan anshar di Madinah. Kaum anshar sebagai tuan rumah yang baik lagi mulia, mau dan mampu berbagi hartanya separo-separo dengan muhajirin yang dipersaudarakan dengan mereka oleh Rasulullah Saw. Rumah, tanah dan kebun mereka, diserahkan sebagian untuk muhajirin yang tidak punya apa-apa di Madinah.
Adalah Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasulullah yang hijrah dari Makkah ke Madinah tanpa membawa apapun. Sama seperti beberapa sahabat lainnya; Bilal dengan Abu Ruwaihah, Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid, Umar dengan Itban bin Malik, maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan (taakhi) dengan Sa'ad bin Rabi' oleh Rasulullah Saw.
Abdurrahman bin Auf tentu merasa sangat bahagia dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad sendiri merupakan salah satu dari kaum Anshar yang paling kaya di Madinah. Kebun kurma, gandum, hingga unta dan domba yang dimilikinya sangatlah banyak. Berbeda dengan kondisi Abdurrahman bin Auf yang tidak memiliki apa-apa kala itu.
Sa'ad berkata kepada Abdurrahman, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi milikmu. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia." Sungguh, ini memang tidak masuk akal. Tapi begitulah ukhuwwah mereka.
Namun kemudian Abdurrahman juga seorang yang sangat mulia dan terhormat. Ia tidak memanfaatkan momen itu untuk kepentingan diri atau dunianya. Ia sangat menghargai kedermawanan dan kelapangan dada Sa'ad. Dengan halus ia menolaknya dan menjawab, "Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluargamu dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?" maka Abdurrahman tidak mengambil pemberiaan Sa'ad, tapi ia minta dibantu untuk masuk pasar Madinah dan memulai berbisnis sebagaimana karirnya di Makkah.
Begitu juga kaum muhajirin yang lain. Mereka adalah sahabat dan saudara yang tahu diri. Mereka mencintai kaum anshar dengan sepenuh hati. Mereka tidak rela hanya menerima bantuan saja. Ketika mereka sudah ada kelapangan atau memiliki harta, mereka juga memberi kepada kaum anshar. Karena persaudaraan yang utama itu adalah saling memberi dan saling menghargai.
Kesempatan terbaik itu datang saat selesai perang Khaibar. Sebagaimana yang diriwayat kan oleh Imam Bukhari, bahwa selesai perang Khaibar kaum muslimin mendapatkan ghanimah (rampasan perang) yang luar biasa banyaknya. Baik harta benda yang berharga, maupun kebun-kebun korma. Kaum muhajirin mendapatkan jatah yang lumayan. Sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan, "Kami tidak pernah merasa kenyang, kecuali setelah penaklukan Khaibar." Ummul Mukminin Aisyah ra juga mengatakan, "Sekarang kami kenyang memakan korma."
Maka pada waktu itu kaum muhajirin memberikan harta mereka kepada kaum anshar sebanyak yang dulu mereka terima, baik itu pohon korma ataupun kebunnya. Inilah persaudaraan dan ukhuwwah yang sangat terhormat.
𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐝𝐢𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢 𝐬𝐚𝐮𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧𝐲𝐚
Para sahabat ditarbiyah oleh Rasulullah Swt untuk mencintai satu sama lain. Sehingga kemudian mereka berlomba-lomba untuk mencintai saudaranya. Masing-masing berusaha untuk menjadi orang yang paling perhatian terhadap sahabatnya, dan mampu memasukkan kebahagiaan kepadanya. Karena dengan melakukan hal itu, mereka menjadi orang yang dicintai Allah. Rasulullah Saw bersabda:
وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا ، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ - يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا. (رواه الطبراني وصححه الألباني).
Artinya: "Dan amalan yang paling Allah sukai adalah engkau memasukkan kebahagiaan kepada muslim yang lain. Atau engkau melapangkan kesusahannya. Atau engkau membayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan rasa laparnya. Dan aku lebih suka pergi berjalan membantu hajat saudaraku dari pada iktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama satu bulan." (HR Ath Thabrani. Dishahihkan oleh Al Albany).
Sehingga wajar kemudian kita mendapatkan para sahabat berlomba-lomba saling membantu saudaranya. Ada yang rela membagi hartanya, rumah dan kebunnya. Ada juga yang rela memberi tamunya makan malam, sementara dia sekeluarga tidak makan sama sekali. Semua bukan karena mengharap balasan, atau pencitraan atau keuntungan duniawi lainnya. Karena mereka memang ingin meraih cinta Allah Swt.
Wallahu A'laa wa A'lam.
Komentar
Posting Komentar