Serial: ADAB BERTEMAN DAN BERUKHUWWAH (3)

*Serial: ADAB BERTEMAN DAN BERUKHUWWAH*

Oleh: Irsyad Syafar

*3. TIGA TINGKATAN PERGAULAN*

*Teman yang beragam*

Dalam membangun pertemanan dan kedekatan, setiap kita dapat melakukannya kepada siapa saja selama mereka memenuhi kriteria teman yang baik. Pertemanan dan ukhuwwah tidak mesti dibatasi pada kelompok tertentu atau usia tertentu. Semakin luas cakupan teman dan ukhuwwah yang kita miliki sesungguhnya itu juga memperluas kebaikan dan keberkahan. 

Baginda Rasulullah Saw memiliki sahabat dari berbagai kelompok masyarakat. Ada yang pedagang, petani, peternak, pujangga, dan profesi lainnya. Sahabat Muhajirin rata-rata adalah para pebisnis, semisal Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubeir bin 'Awwam, Shuhaib Ar Ruumy dan lain-lain. Sedangkan sahabat Anshar banyak yang merupakan petani pemilik kebun korma dan lainnya, semisal Sa'ad bin Mu'adz, Abu Ayyub Al Anshari, Sa'ad bin Ar Rabi' dan lain-lain.

Ada sahabat-sahabat lain dengan profesi yang beragam. Seperti Abdullah bin Mas'ud yang peternak dan menggembalakan banyak sekali binatang ternak, Khabbab bin Art dan Walid bin Mughirah adalah seorang pandai besi, Sa'ad bin Abi Waqqas adalah seorang produsen senjata seperti tombak dan pedang, Zubeir bin 'Awwam dan Utsman bin Thalhah adalah tukang jahit, Salman Al Farisi seorang pekerja kebun korma dan juga tukang cukur, dan Amir bin Kuraiz adalah seorang penjual daging.

Dari para sahabat Rasul tersebut mereka juga beragam dalam kekayaan. Ada yang kaya pemilik harta yang lumayan banyak, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin 'Auf dan Sa'ad bin Ar Rabi'. Ada juga dari kalangan dhu'afa seperti Abu Hurairah, Abu Dzar Al Ghifary, Sa'id bin Amir al Jumahy, Hudzaifah bin Al Yaman dan Hanzhalah bin Abi Amir. Mayoritas mereka termasuk dalam ahlu Ash shuffah yang tidak memiliki tempat tinggal yang memadai di Madinah.

Dari segi usia, Rasulullah Saw memiliki para sahabat yang lintas usia. Ada yang berada di atas umur Beliau seperti paman Beliau Abbas bin Abdul Muththalib dan Abu Sofyan bin Harb. Ada juga yang sebaya atau dekat jarak usianya dengan Rasulullah Saw, seperti Abu Bakar dan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dan sangat banyak sahabat Nabi yang umurnya jauh di bawah Rasulullah Saw. Seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubeir bin 'Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqas. Rata-rata usia mereka berjarak lebih dari 10 tahun dari Rasulullah Saw. Dan semuanya menjadi sahabat yang bagi Rasulullah Saw.


*Perlakuan yang berbeda*

Dengan adanya perbedaan para teman dan sahabat, baik dari segi usia, pekerjaan atau jabatan, maupun status sosial, tentu ada cara dan sikap yang berbeda dalam bergaul dan berinteraksi. Bahwa semua kaum muslimin adalah bersaudara, dan tidak boleh ada yang direndahkan atau diremehkan, itu adalah arahan umum dari Allah Swt dan RasulNya. Satu sama lain harus saling menghargai dan menghormati. Sebagaimana firman Allah Swt:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ. (الحجرات: 11).

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS Al Hujurat: 11).

Rasulullah Saw juga memberikan arahan tentang persaudaraan sesama muslim yang tidak boleh saling menganiaya, atau saling merendahkan dan perbuatan tercela lainnya. Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling tanajusy (menyakiti dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling membelakangi (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali–. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR. Muslim).

Namun demikian, tetap boleh dan dianjurkan untuk bersikap dan berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan teman yang berbeda, karena ada faktor perbedaan yang sangat signifikan. Paling tidak ada tiga kelompok pertemanan dan persahabatan yang perlu diperhatikan dalam bergaul. Yaitu, kelompok pertama para ulama, guru atau tokoh panutan. Kelompok yang kedua, teman sejawat, sebaya dalam usia atau mendekati, atau sepantar, atau selevel dalam pekerjaan. Sedangkan kelompok ketiga adalah para murid, bawahan, atau prang-orang agak berjarak secara usia.


*Dekat dengan ulama dan tokoh panutan*

Dekat dengan para ulama, guru dan tokoh panutan adalah sebuah kemuliaan. Bahkan itu merupakan suatu yang sangat dianjurkan dalam Islam. Karena dekat dengan mereka akan memberikan kita banyak keuntungan kebaikan, baik di dunia apalagi di akhirat. Kita bisa mendapatkan peluang amal shaleh bersama mereka dan terhindar dari jatuh kepada dosa.

Islam sangat memuliakan posisi ulama dan orang-orang yang mengajarkan kebaikan dalam Islam. Allah Swt menggandengkan kesaksian para Malaikat dengan kesaksian para ulama dan ahli ilmu yang lurus. Allah Swt berfirman:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ. (آل عمران: 18).

Artinya: Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah Swt juga memuji para ulama karena mereka adalah gamba Allah yang paling takut kepadaNya. Sehingga ketika kita banyak berinteraksi dan dekat dengan para ulama, maka kita juga akan "ketularan" rasa takut kepada Allah Swt tersebut. Sesuai firman Allah Swt:

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ. (الفاطر: 28).

Artinya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS Al Fathir: 28).

Para ulama juga adalah pewaris para Nabi. Setelah nabi dan rasul berakhir dengan Nabi penutup, Muhammad Saw, maka para ulama-lah pelanjut perjuangan mereka. Para ulama tidak mewarisi harta kekayaan dari para nabi. Melainkan mereka mewarisi ilmu yang lurus lagi benar. Siapa yang dekat dengan para ulama, maka ia sangat beruntung memperoleh bagian yang sangat banyak.

Bahkan Rasulullah Saw menempatkan para ulama pada posisi yang lebih mulia dan terhormat dibandingkan dengan para ahli ibadah. Rasulullah Saw bersabda:

عن أبي أمامة الباهلي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «فَضْلُ العَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ»، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةِ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ». (رواه الترمذي). 

Dari Abu Umāmah al-Bāhili ra. bahwa Nabi Saw bersabda, "Keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah, seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian." Selanjutnya Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, serta penghuni langit dan bumi, sampai semut di lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar berselawat bagi para pengajar kebaikan kepada manusia." (HR Tirmidzi).


*Sikap kepada para ulama, guru dan tokoh panutan*

Karena posisi dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah Swt dan RasulNya, maka sudah seharusnya kita juga memuliakan dan menghormatinya. Seberapa-pun dekatnya kita dengan seorang ulama, maka jelas mereka bukan teman sebaya ataupun kawan sepantaran. Penghormatan dan pemuliaan kita kepada mereka adalah sunnah dari Rasulullah Saw dan pertanda bahwa kita memang pengikut Beliau. Rasulullah Saw bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا. (رواه الترميذي).

Artinya: "Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua." (HR. at-Tirmidzi dari shahabat Anas bin Malik)

Rasulullah Saw juga mengajarkan bagaimana menghormati para sahabat yang mulia. dalam hadits yang shahih bahwa Nabi Saw memerintahkan para shahabat untuk berdiri memberikan penghormatan kepada Sa'ad bin Muadz Radhiyallahu 'Anhu, ketika beliau mendatangi majelis Nabi dan para sahabat beliau. Saat itu Nabi Saw. menyambut Sa'ad bin Muadz Radhiyallahu 'Anhu dengan ucapan:

قوموا لسيدكم... (رواه البخري)

Artinya: "Berdirilah kamu semua, hormatilah sayid (pemimpin) kamu." (HR Bukhari).

Pada suatu hari Jum'at, Rasulullah Saw sedang berada di beranda Masjid di tempat yang agak sempit. Banyak sahabat yang sudah duduk di tempat tersebut karena mereka datang lebih awal. Namun ada sejumlah sahabat Muhajirin dan Anshar yang datang berikutnya. Mereka adalah orang-orang yang pernah ikut perang Badar. Dan sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw, bahwa Beliau menghormati ahlul Badar melebihi yang lainnya.

Maka ketika itu, kaum Muhajirin dan Anshar ini hanya bisa berdiri tidak dapat tempat untuk duduk. Melihat hal itu Nabi Saw. merasa tidak enak, sehingga beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang bukan dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu. Juga kamu, hai Fulan." Dan Nabi Saw. mempersilakan duduk beberapa orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar Ahli Badar. 

Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang yang disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Saw. mengetahui keadaan ini dari roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka, "Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap mereka. Sesungguhnya suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka di dekat nabi mereka karena mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya, dan mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang terlambat." 

Rasulullah Saw merespon komentar kaum munafiq yang negatif dan provokatif itu, dengan bersabda:

"رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا فَسَح لِأَخِيهِ"

Artinya: "Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat duduk bagi saudaranya." (HR Abi Hatim).

Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. (المجادلة: 11).

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al Mujadilah: 11).

Maka adab terbaik bersama pada ulama, guru dan tokoh panutan adalah dengan cara menghormati, berbicara secara santun dan pilihan kata terbaik, memberikan pelayanan untuknya, membantu urusannya dan menempatkannya pada posisi yang layak dan pantas di dalam majelis. Di dalam hadits, Rasulullah Saw mendapat arahan dari Malaikat Jibril:

أَمَرَنِي جِبْرِيلُ أَنْ أُقَدِّمَ الأَكَابِرَ

Artinya: "Jibril memerintahkan aku untuk mengutamakan orang-orang tua" (HR. Abu Bakr Asy Syafi'i dalam Al Fawa'id, Ahmad dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 173).


*Daging para ulama itu beracun*

Salah satu ulama termasyhur dalam era klasik, Ibnu Asakir, pernah mengingatkan orang-orang agar berhati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatan. Jangan sampai menghina, menjelek-jelekkan, atau menyakiti hati dan perasaan ulama. Sebab, kedudukan ulama berbeda daripada orang biasa, termasuk sekalipun penguasa. Sehingga beliau berkata: "Saudaraku, ketahuilah bahwa daging para ulama itu beracun,"

Beliau melanjutkan: "Dan kita telah mengetahui sikap Allah terhadap orang-orang yang mencela para ulama. Maka, siapa saja yang menghina para ulama dengan lidahnya, Allah akan menimpakan kematian hati kepadanya selagi dia di dunia."

Artinya "daging ulama beracun" adalah, siapa pun yang telah memfitnah mereka, atau membicarakan secara negatif, pasti akan terkena nasib buruk. Bagaikan tubuh terkena racun. Alquran surah al-Hujurat ayat 12, mengibaratkan perbuatan menggunjing atau mencari-cari keburukan orang lain sebagai "memakan" daging saudara sendiri yang telah mati. Tentunya, memakan daging beracun akan lebih parah lagi akibatnya.

Maka menjelek-jelekkan ulama di depan umum tentunya merupakan perbuatan yang sangat tercela. Tidak hanya diibaratkan sebagai orang yang menjijikkan (memakan bangkai), tetapi juga kelak menerima sakit akibat perbuatannya itu.


*Sikap kepada teman sejawat, sebaya dan sepantaran*

Teman dan sahabat yang sebaya, seusia atau mendkatinya, atau rekan sesama kerja di sebuah kantor atau perusahaan adalah rekan dan patner kita dalam mentaati Allah Swt. Bila kita Bersama-sama dan saling membantu dalam kebaikan dan amal shaleh, maka amal shaleh itu akan menjadi ringan dan kebaikan menjadi semakin menyebar. Kalau kita sendirian saja mentaati Allah, maka ketaatan itu menjadi berat dan kadang syetan lebih mudah mengalahkan kita. Rasulullah Saw bersabda:

عَليْكُم بالجَمَاعَة، وَإيَّاكُم والفِرقَة، فَإنَّ الشّيطَان مَعَ الواحِد، وَهُوَ مِنَ الاثْنَينِ أبْعَد. مَن أَراد بُحْبوحَة الجَنَّة فَلْيُلزِم الجماعَةَ. مَن سَرَّتْهُ حَسَنَتُه، وسَاءَتْه سَيّئَتُه، فَذَلك المُؤْمِن" صحيح سنن الترمذي.

Artinya: "Hendaklah kalian berjamaah dan janganlah berpecah belah, karena syetan bersama orang yang sendirian. Jika sudah berdua, syetan lebih jauh lagi. Siapa yang ingin masuk ke tengah surga, maka hendaklah berjamaah. Siapa yang kebaikannya membuat dia senang dan keburukannya membuat dia tidak suka, maka dia seorang yang mukmin." (HR At-Tirmidzi).

Kepada teman sejawat ini, sikap orang beriman adalah mudah dekat dan akrab, membantunya dalam kesulitan, memberi nasehat untuk kebaikan, saling memberikan manfaat satu sama lain. Sebagaimana dalam hadits Nabi:

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ ، وَلَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُم لِلنَّاسِ. (رواه الطبراني ودار القطني).

Artinya: Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, "Orang beriman itu bersikap ramah dan mudah diakrabi, dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani dan Daruquthni).

Dengan teman sejawat dibolehkan bercanda dan bersenda-gurau agar hati menjadi dekat, suasana menjadi cair, tidak tegang dan mudah akrab. Akan tetapi canda tersebut haruslah positif, tidak maksiat dan tidak melecehkan teman atau rekan tersebut. canda juga tidak menciderai apalagi sampai menganiaya saudara sendiri, seperti sebagian orang sekarang ini yang mencandai temannya tapi menyakitinya. Bahkan ada yang berujung kepada kematian.

Rasulullah Saw juga kerap bercanda dan tertawa. Sebagai manusia biasa, kadang kala Beliau Saw bercanda dan tertawa, baik kepada para sahabat bahkan dengan istri-istri Beliau Saw. Beliau sering mengajak istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati, dan membuat mereka gembira. 

Namun canda Beliau Saw sangat terkontrol oleh akhlak beliau yang sangat luhur. Canda tawa beliau tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa, Beliau Saw tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, Beliau tidak berkata kecuali yang benar. Rasulullah Saw lebih sering tersenyum dalam bercanda dari pada tertawa terbahak-bahak. 

Tapi, Rasulullah Saw tidak pernah tertawa kelewatan hingga mengurangi kharisma, kewibawaan, dan kesantunan pekertinya. Dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw sosok yang tidak tertawa terbahak-bahak. Tawa Beliau hanya sebatas senyum, dan sangat murah senyum. 

Dituturkan 'Aisyah ra : "Aku belum pernah melihat Rasulullah Saw tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum. (HR. Bukhari dan Muslim) 

Abu Hurairah ra. menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: "Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?" Rasulullah Saw menjawab:

 نَعَمْ ! غَيْرَ أَنِّي لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.

Artinya: "Betul, hanya saja aku selalu berkata benar." (HR. Ahmad)

*Kepada yang lebih kecil, murid, bawahan dan yunior*

Berteman dan bersaudara dengan orang yang usia yang lebih kecil juga ada dalam ajaran dalam Islam. Rasulullah Saw bahkan berkenan melayani beberapa permintaan anak-anak yang sedang bermain. Padahal dia seorang Rasul yang mulia dan pemimpin tertinggi di Madinah waktu itu. Tapi, sikap utama Beliau adalah menyayangi siapa saja yang lebih muda dan membimbingnya. Wajar kemudian Beliau mengatakan: "Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua." (HR. At-Tirmidzi).

Rasulullah Saw sangat rendah hati (tawadhuk) kepada anak-anak. Sehingga Beliau berkenan merespon mereka bagaikan orang yang seusia. Rasulullah mengucapkan salam terlebih dulu saat beliau lewat di hadapan anak-anak. Rasulullah bermain, berbagi makanan, mencium dan menggendong anak-anak. Rasul tidak membiarkan anak-anak sendiri. Nabi Saw biasa mengajak anak-anak hadir dalam majelis, undangan atau perayaan yang dibolehkan syariat.

Rasulullah Saw juga membolehkan anak-anak menginap di rumah karib kerabat mereka yang shaleh. Imam Bukhari meriwayatkan, Ibnu Abbas pernah menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Harits yang merupakan istri Rasulullah. Dalam suatu kisah dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Saw sedang bersama sekelompok orang dewasa dan ada juga Ibnu Umar yang kala itu masih anak-anak. Rasulullah mengajak mereka, termasuk Ibnu Umar bermain bersama.

Hari ini banyak kita temukan tindakan dan sikap semena-mena seorang atasan kepada bawahannya. Seolah-olah bawahan itu hanyalah budak yang boleh dibentak-bentak dan diperintah seenaknya saja. Padahal mereka manusia merdeka yang punya hak dan kewajiban yang sudah ditentukan dan juga punya harga diri. Anas bin Malik pernah menjadi pelayan Rasulullah Saw selama 10 tahun. Kala itu Ummu Sulaim (sang ibunda) segera bergegas mendatangi 

Komentar