𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛
Oleh: Irsyad Syafar
𝟭𝟬. 𝗨𝗧𝗔𝗠𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗠𝗔𝗟𝗨 𝗗𝗔𝗡 𝗛𝗔𝗥𝗚𝗔 𝗗𝗜𝗥𝗜
𝗠𝗮𝗹𝘂 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗿𝗽𝘂𝗷𝗶
Sifat malu adalah sifat yang dikaruniakan Allah Swt kepada seorang hamba, sehingga membuatnya menjauhi keburukan dan kehinaan, serta mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang baik atau terpuji. Aslinya, sifat malu adalah sebuah akhlak mulia dan sangat terpuji. Sehingga di dalam Islam malu adalah bagian dari iman. Artinya tidak sempurna iman seseorang kecuali ia memiliki sifat malu. Dalam haditsnya Rasulullah Saw bersabda:
الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ. (متفق عليه).
Artinya: "Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman" (HR. Al Bukhari 9, Muslim 35).
Dalam hadits lain, Abdullah Ibnu Umar radhiallahu'anhu menyebutkan:
أنَّ رَسُوْلَ اللهِ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإيْمَانِ. (متفق عليه).
Artinya: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melewati seorang lelaki Anshar yang sedang menasehati saudara agar saudaranya tersebut punya sifat malu. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: 'biarkan ia, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman'" (HR. Al Bukhari 24, Muslim 36).
Jadi, kalau ada orang yang memiliki sifat pemalu, tidak mau melakukan dosa, atau enggan berbuat yang tidak baik, maka itu adalah orang baik. Jangan ditegur pula dia karena sikapnya itu. Dan Rasulullah Saw juga menyatakan dengan tegas bahwa malu itu adalah kebaikan dan akan mendatangkan kebaikan. Rasulullah Saw bersabda:
الحَيَاءُ لَا يَأتِيْ إلَّا بِخَيْرٍ. (متفق عليه).
Artinya: "Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan" (HR. Al Bukhari 6117, Muslim 37).
Ini merupakan bukti tegas bahwa sifat malu itu asalnya terpuji.
𝗦𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗠𝗮𝗹𝘂 𝗶𝘁𝘂 𝗦𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗦𝗵𝗮𝗹𝗶𝗵
Sifat malu itu sudah ada sejak lama, sebelum diutusnya Rasulullah Saw. Sehingga umat terdahulu sudah mengenal sifat yang mulia ini. Itu artinya sifat malu itu baik dan merupakan ajaran para Nabi sebelum Rasulullah Saw. Nabi Saw bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. (رواه البخاري)
Artinya: "Sesungguhnya diantara hal yang sudah diketahui manusia yang merupakan perkataan para Nabi terdahulu adalah perkataan: 'jika engkau tidak punya malu, lakukanlah sesukamu'" (HR. Al Bukhari 6120).
Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad Saw ada seorang yang dikenal sangat pemalu. Para Sahabat sangat mengetahui hal itu. Bila ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Beliau, maka akan kelihatan langsung di wajah Beliau. Sahabat Imran bin Hushain mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِيْ خِدْرِهَا. (متفق عليه).
Artinya: "Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam adalah orang yang lebih pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya" (HR. Al Bukhari 6119, Muslim 37).
Nabi Musa As juga seorang Nabi yang pemalu. Ketika beliau lari dari kejaran pasukan Fir'aun ke negeri Madyan, dan bertemu dengan 2 orang anak gadis yang menunggu giliran mengambil air minum ternaknya, Nabi Musa berinteraksi dengan keduanya dengan menjaga jarak dan komunikasi. Begitu juga anak gadis tersebut, Ketika akan berkomunikasi dengan Nabi Musa, maka ia datang dengan malu-malu. Allah Swt berfirman:
فَجَآءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِي عَلَى ٱسۡتِحۡيَآءٖ قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ. (القصص: 25).
Artinya: "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan rasa malu-malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." (QS Al Qashash:25).
Dan sifat malu ini juga merupakan sifatnya orang-orang shalih. Lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam memuji Utsman bin 'Affan karena ia dikenal dengan sifat pemalunya, sampai-sampai Malaikat pun malu kepada beliau. Nabi Saw bersabda:
أَلَا أَسْتَحْيِ مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنهُ الْمَلَائِكَةُ. (رواه مسلم).
Artinya: "Bukankah aku selayaknya merasa malu terhadap seseorang (Utsman) yang Malaikat saja merasa malu kepadanya?" (HR. Muslim 2401).
Begitu juga Ali bin Abi Thalib juga malu kepada mertuanya yaitu Rasulullah Saw. Sehingga ada masalah yang sangat terkait dengan pribadinya dan istrinya Fathimah binti Rasulillah, Ali malu bertanya langsung kepada mertuanya. Ali bin Abi Thalib bercerita:
"Aku ini laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Lalu aku suruh seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Nabi, karena aku malu, sebab putrinya adalah istriku. Maka orang yang disuruh itu pun bertanya dan beliau menjawab: Berwudhulah dan cuci kemaluanmu!" (HR. Al-Bukhari).
Dengan demikian sudah jelas bahwa sifat malu yang seperti ini adalah hal yang semestinya dimiliki dan dijaga oleh setiap Muslim.
𝗠𝗮𝗹𝘂 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗲𝗿𝗰𝗲𝗹𝗮
Walaupun sifat malu itu terpuji, namun adakalanya malu bisa menjadi tercela. Sehingga malu yang jebis ini harus dihindari oleh seorang muslim. Diantara bentuknya adalah jika malu itu menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar. Sebagaimana para salaf mengatakan:
لَا يَنَالُ الْعِلْمَ مُسْتَحِىْ وَلَا مُسْتَكْبِرُ
Artinya: "Tidak akan mendapatkan ilmu orang yang pemalu, demikian juga orang yang sombong."
Dan jika kita membaca dan memperhatikan perjalanan hidup dan perbuatan para pendahulu yang shaleh, ternyata dalam hal-hal yang akan mendapatkan ilmu dan menambah pemahaman agama, serta terhindar dari perbuatan menyimpang, maka mereka tidak ada malunya. Sebagaimana kisah Ummu Sulaim ra, beliau dengan berani bertanya kepada Nabi Saw tentang mandi wajibnya kaum Wanita. Ia berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إنَّ اللهَ لَا يَسْتَحِي مِنَ الْحَقَّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ : ( نَعَمْ، إذَا رَأَتِ المَاءَ. (متفق عليه).
Artinya: "Wahai Rasullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda: 'ya, jika ia melihat air (mani)." (HR. Al Bukhari 6121, Muslim 313).
Permasalahan mimpi basah tentu hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun lihatlah, Ummu Salamah tidak malu menanyakannya demi mendapatkan ilmu dan demi melakukan hal yang benar. Dan Nabi Saw pun tidak mengingkarinya. Karena seandainya ia tidak bertanya kepada Rasulullah Saw tentu ia tidak tahu bagaimana fiqih yang benar dalam perkara ini dan akan terjerumus dalam kesalahan.
Hal ini sebagaimana juga dalam hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, hadits dari 'Aisyah radhiallahu'anha, beliau berkata:
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أهلَه ثم يَكْسَلُ. هل عليهما الغُسْلُ ؟ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ . أَنَا وَهَذِهِ . ثُمَّ نَغْتَسِلُ. (رواه مسلم)
Artinya: "Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw tentang seorang yang lain, yang ia berjima' dengan istrinya lalu mengeluarkan mani di luar ('azl), "apakah ia wajib mandi?", tanyanya. Ketika itu 'Aisyah duduk di samping Rasulullah. Rasulullah Saw menjawab, 'sungguh aku melakukan itu, aku dan wanita ini ('Aisyah). Lalu kami mandi'". (HR. Muslim 350).
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan para sahabat tidak malu membahas hal yang sifatnya privat dalam rangka mengajarkan dan mendapatkan ilmu.
Begitu juga Ummul Mu'minin Aisyah radhiallahu'anha, juga tidak merasa malu untuk mengajarkan ilmu agama kepada sahabat dan umat agar mereka memiliki pemahaman beragama yang benar dan akuran. Juga sekaligus agar dengannya terhindarlah mereka dari perselisihan.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh malu dalam melakukan yang haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syariat. Malu membaca Al Quran, malu adzan, malu menyampaikan kebenaran dan lain-lain, itu semua bukanlah malu yang terpuji. Itu lebih dekat kepada minder, dan itu sifat yang tercela.
𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝗮𝘁𝘂𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗱𝗶𝗿𝗶
Dalam berteman dan berukhuwwah sifat malu adalah salah-satu karakter yang terpuji. Yaitu seseorang sungkan dan tidak enak menggangu saudaranya, atau menyusahkan saudaranya dan membebaninya. Kecuali dalam situasi yang sangat mendesak atau tidak menemukan solusi, maka ia akan berusaha berdiskusi dengan temannya tersebut.
Jangan mentang-mentang kita berteman dekat, lalu kita bersikap seenaknya kepada teman atau saudara kita. Kita minta atau ambil hartanya, atau kita berhutang kepadanya lalu pura-pura lupa dan tidak pernah beriktikad baik untuk menyelesaikannya. Kita berkomunikasi atau menelponnya disembarangan waktu atau situasi. Kadang tengah malam, teman ditelpon, atau menjelang shubuh. Jelas itu adalah waktu yang tidak pas. Maka disitulah letak perasaan malu dan rasa harga diri harus dijaga. Kalau tidak, lama teman tersebut tidak lagi menghargai kita.
Rasulullah Saw mendatangi atau bersilaturrahim pada waktu-waktu yang sekira-kira sahabatnya tidak dalam konsisi istirahat, tidak pada waktu tidur siang (Qailulah). Kecuali di hari ketika Beliau mendapat izin dari Allah Swt untuk hijrah, maka Beliau mendatangi Abu Bakar pada jam yang tidak biasanya. Hal itu demi merahasikan rencana perjalanan hijrah. Aisyah ra berkata:
فِيْ سَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ يَأْتِيْنَا فِيْهَا
Artinya: "Pada jam yang tidak biasanya Beliau mendatangi kami (jam istirahat siang)." (AR Rahiqul Makhtum).
Juga ketika suatu malam Beliau keluar rumah karena perasaan lapar yang sangat, lalu di jalan bertemu dengan Abu Bakar dan Umar juga diluar rumah karena merasa lapar, maka mereka bertiga pergi berjalan sampai tiba di hadapan rumah seorang sahabat anshar yang bernama Haitsam bin At Taihan. Tapi mereka bertiga tidak mau mampir masuk ke rumah sahabat tersebut, walaupun istrinya sudah mempersilakan.
Kenapa mereka tidak mau masuk rumah? Karena malu dan menjaga kehormatan sahabatnya Haitsam yang belum di rumah waktu itu. Tapi, ketika Haitsam sudah sampai di rumah, barulah Rasulullah dan 2 sahabatnya mau bertamu masuk rumah. Kisah ini terdapat dalam hadits shahih Muslim dari Abu Hurairah. Tapi di sebagian kita, kadang menyolonong saja masuk ke rumah kawan saat sang kawan tidak ada, dan yang ada hanya istrinya saja. Ini tindakan yang tidak tahu malu dan tidak punya harga diri.
𝗦𝗲𝗴𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗶𝗸𝗮𝗽 𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁
Rasa malu dan segan kepada teman dekat dan ikhwah itu berangkat dari rasa hormat dan penghargaan kepada beliau. Bila rasa ini selalu saling dijaga atara sesama teman atau ikhwah, maka persaudaraan akan menjadi kuat dan tahan lama. Jika tidak, teman atau ikhwah lama-lama akan menjauh. Sebab, hatinya merasa tidak nyaman dengan saudara yang tidak menghargainya, atau sering "berlantas angan" alias sewenang-wenang.
Kalau ada situasi mendesak yang kemudian kita memerlukan bantuan teman kita atau orang lain, maka itu tetap bisa dilakukan dengan cara komunikasi khusus. Atau mungkin menggunakan seorang perantara yang dapat dipercaya, minimal oleh si teman yang akan dimintai pertolongannya. Cara ini akan terasa elegan dan saling menjaga perasaan dan hati. Dan dengan cara ini ukhuwwah bisa dirawat dengan baik.
Wallahu A'laa wa A'lam.
Komentar
Posting Komentar