𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛 (11)

𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛

Oleh: Irsyad Syafar

𝟭𝟭. 𝗝𝗔𝗚𝗔𝗟𝗔𝗛 𝗛𝗔𝗧𝗜 𝗗𝗔𝗡 𝗝𝗔𝗚𝗔𝗟𝗔𝗛 𝗟𝗜𝗦𝗔𝗡

𝗞𝗲𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝘂𝗺𝗯𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗵𝗮𝘁𝗶

Kekuatan utama dari pertemanan dan ukhuwwah itu sumbernya dari hati. Karena hati adalah tempat bersemayamnya cinta dan benci, senang dan susah, sabar dan marah, dan semua rasa yang lain. Bila hati dalam keadaan baik atau bersih, sejatinya seseorang akan mudah untuk dekat dengan orang lain. Apalagi jika mendapatkan respon balik yang juga baik. Jika ada teman yang senang dengannya dan menghormatinya, maka seharusnya iapun akan senang dengan orang tersebut. 

Begitulah karakter standar orang beriman yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, bahwa ia adalah orang yang mudah dekat dan didekati, mudah akrab dan diakrabi. Hal itu dikarenakan orang beriman itu hatinya dalam kondisi bersih. Rasulullah Saw bersabda:

الْمُؤْمِنُ إِلْفٌ مَأْلُوفٌ، وَلا خَيْرَ فِي مَنْ لا يُأْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ. (رواه البيهقي).

Artinya: "Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR Baihaqi).

Jadi kalau kita merasa tidak bisa atau sulit dekat dengan orang lain, maka kemungkinan ada masalah di hati kita. Mungkin kita mudah curiga kepada orang lain. Atau kita termasuk orang bertipe cuek dan tidak peduli dengan orang lain. Maunya dipedulikan saja, tapi tidak mau peduli, alias egois yang akut. 

Makanya, semua bermula dari hati. Hatilah pembuka rasa dekat, senang dan nyaman. Bila hati suka dan cenderung kepada seseorang atau sesuatu, maka ia akan nyaman dengannya. Orang-orang shaleh senang beribadah karena mereka telah mencintainya. Para sahabat betah berlama-lama bersama Rasulullah Saw karena mereka mencintainya. Sebaliknya, kenapa pelaku dosa senang bergelimang maksiat? Karena mereka membuka hati mereka untuk itu dan menyukainya.

𝗦𝗮𝗹𝗮𝗮𝗺𝗮𝘁𝘂𝘀𝗵 𝘀𝗵𝗮𝗱𝗿

Karena bermula dari hati, maka ukhuwwah yang baik harus dibangun di atas hati yang bersih atau bahasa lainnya salamatush shadr. Salamah itu artinya selamat dan shadr itu artinya dada. Imam Asy Syaukani menjelaskan maksud dari salamatush shadr adalah tidak dengki, tidak cemburu dan tidak membenci. Artinya, hati yang terbebas dari berbagai penyakit yang membuat ia terhalang dari kebaikan.

Tingkatan terendah dari ukhuwwah adalah salamatush shadr. Yaitu terhindarnya teman dan ikhwah kita dari perasaan dan pikiran negatif kita. Sehingga kita tidak punya persangkaan apa-apa tentang dia. Sedangkan puncak tertinggi dari ukhuwwah adalah itsar. Yaitu ketika kita mampu mendahulukan kepentingan saudara kita disaat kita sendiri juga sangat membutuhkan. Kaum Anshar telah berhasil mengaplikasikan sikap terendah ukhuwwah ini sampai ke tingkat yang tertinggi. Mereka tidak menyimpan perasaan negatif kepada kaum Muhajirin, dan mereka sanggup melakukan itsar. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُوا ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ. (الحشر: 9).

Artinya: "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (QS Al Hasyr: 9).

𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗱𝗶𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽𝗸𝗮𝗻

Cinta itu memang tempatnya di hati dan bersemayam di hati. Akan tetapi isi hati ini perlu diungkapkan untuk memperkuat ukhuwwah. Sebab, kadang manusia tidak mampu membaca apa yang ada dalam relung hati orang lain. Bisa jadi raut wajah seseorang biasa-biasa saja, atau terkesan dingin. Tapi sebenarnya hatinya senang dan suka. Maka Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengungkapkannya kepada teman atau ikhwah kita tersebut. Beliau Saw bersabda dalam haditsnya:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمْتَهُ قَالَ لَا قَالَ أَعْلِمْهُ قَالَ فَلَحِقَهُ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ فَقَالَ أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي لَه. (رواه أبو داود).

Dari Anas bin Malik RA, bahwa seorang lelaki berada di sisi Nabi SAW, maka seorang lelaki (lain) melintasinya, dan ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang ini." Maka Nabi SAW bertanya, "Apakah kamu telah memberitahukannya?'" Ia menjawab, "Belum", lalu beliau bersabda, "Beritahukanlah kepadanya. " (Perawi) berkata, "Maka orang (yang di sisi Nabi SAW) itu mengejarnya, seraya berkata, "Aku mencintaimu karena Allah." Orang itu menjawab, "Semoga yang karena-Nya kamu mencintaiku akan mencintaimu."

Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Dzar bahwasannya ia mendengar Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا أَحَبَّ أَحَدَكُمْ صَاحِبَهُ ، فَلْيَأْتِهِ فِي مَنْزِلِهِ ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ لِلهِ. (رواه أحمد).

Artinya: "Apabila salah seorang kalian mencintai rekannya, hendaklah ia mendatanginya di rumahnya dan memberitahu kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah." (HR Ahmad).

Dikisahkan dari seorang senior Tabi'in, Abu Muslim Al-Khaulani –rahimahullah-, ia berkata, "Pernah aku memasuki sebuah masjid di kota Homs (di Syiria). Di dalamnya kujumpai ada sekitar 30 orang yang sudah tua dari kalangan shahabat Nabi Muhammad –Shallallahu 'alaihi wa sallam-. Di tengah mereka terdapat anak muda yang kedua matanya hitam, gigi depannya putih bersih. Apabila orang-orang bingung terhadap suatu masalah, mereka menghadapnya untuk memecahkan masalah itu.

Aku pun bertanya pada orang yang duduk di sisiku, "Siapakah gerangan?". Jawabnya, "Beliau itu Mu'adz bin Jabal." Tiba-tiba muncullah rasa cintaku padanya dalam hatiku. Aku masih saja berada di tengah mereka sampai bubar. Aku pun lantas bergegas ke masjid. Ternyata Mu'adz bin Jabal tengah mengerjakan shalat menghadap ke tiang masjid. Beliau terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku pun demikian tak mengajakknya berbincang. Aku kerjakan shalat lantas aku duduk duduk dengan beralaskan kainku." 

Abu Muslim melanjutkan, "Beliau masih duduk terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku juga berdiam diri tidak mengajaknya berdialog. Kemudian kukatakan, 'Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu.' Beliau menimpali, 'Kamu mencintaiku karena siapa?' Kataku, 'Karena Allah Tabaraka wa Ta'ala.' Beliau pun mengambil kainku dan menarikku kepadanya sebentar. Beliau berkata, 'Kalau kamu jujur, maka selamatlah untukmu! Sebab aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa sallam– bersabda:

الْمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِيْ لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ ، يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُوْنَ وَالشُّهدَاءُ. (رواه الترميذي).

Artinya: "Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat para nabi dan orang yang mati syahid iri pada mereka." (HR Tirmidzi).

𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗴𝗵𝗶𝗹 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮𝗻

Tidaklah elok orang beriman menyimpan ghil (rasa dengki) di dalam hatinya kepada saudara mukmin yang lain. Terutama saat saudaranya mendapatkan suatu kelebihan atau nikmat. Orang beriman selalu mendoakan kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman yang lain. Apalagi kalau mereka memang termasuk lebih dahulu dalam Islam dan kebaikan. Allah Swt memuji sikap orang-orang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar yang berdoa untuk para pendahulunya:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ. (الحشر: 10).

Artinya: "Ya Tuhan kami. beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 10)

Kaum Anshar pernah mengalami kekhilafan saat selesai perang Hunain dan Thaif. Dimana pada dua peperangan tersebut Rasulullah Saw dan pasukannya mengalami kemenangan besar dan memperoleh ghanimah yang melimpah ruah. Maka kemudian Rasulullah Saw banyak sekali memberikan harta rampasan kepada kaum muhajirin termasuk kepada orang-orang quraisy yang baru masuk Islam. mereka semua tentunya adalah orang-orang Makkah yang notabene orang kampung Rasulullah Saw.

Hal ini membuat kaum Anshar merasa tidak nyaman dan cemburu. Mereka mengira Rasulullah telah melakukan pilih kasih dan bersikap tidak adil. Banyaklah komentar-komentar miring bermunculan dari Anshar. Salah seorang petinggi Anshar, Sa'ad bin Ubadah datang menghadap Rasulullah Saw dan menyampaikan keluhan kaumnya: "Wahai Rasulullah, ini kaum Anshar merasa kurang nyaman atas pembagian ghanimah yang Engkau lakukan. Engkau bagi-bagi kepada kaummu, dan Engkau beri mereka jatah yang banyak. Sementara kami kaum Anshar tidak mendapat apa-apa?"

Mendengar curhatan Sa'ad bin Ubadah, maka Rasulullah Saw memerintahkan seluruh Anshar berkumpul di sebuah Gudang besar. Sedangkan kaum Muhajirin tidak diizinkan ikut. Setelah mereka semua berkumpul, maka Rasulullah Saw berkhutbah kepada mereka. Setelah bertahmid memuji Allah, Beliau Saw berkata: "Wahai sekalian Anshar, ada apa ini pembicaraan yang kurang enak kalian bincangkan tentang pembagian ghanimah? Bukankah kalian dulu dalam keadaan sesat lalu Allah beri kalian hidayah? Bukankah kalian dulu miskin dan sekarang telah Allah jadikan kaya? Bukankah kalian dulu bercerai bermusuh-musuhan lalu Allah satukan kalian?"

Rasulullah Saw melanjutkan: "Apakah kalian merasa sedih dengan dunia yang diberikan kepada mereka untuk melembutkan hati mereka sehingga mereka mau masuk Islam? sedangkan aku sangat percaya dengan keislaman kalian? Demi Allah, tidakkah kalian rela, mereka semua pulang membawa kambing dan ternak, tapi kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Allah, kalau bukan karena hijrah, niscaya aku bagian dari Anshar. Dan jika orang mengambil jalan dan Anshar mengambil jalan lain, sungguh aku akan mengambil jalan Anshar. Ya Allah, sayangilah Anshar, anak-anak Anshar, dan seluruh keturunan anak-anak Anshar!"

Mendengar khutbah Rasulullah Saw yang sangat menyentuh hati itu, semua kaum Anshar menangis sampai air mata mereka membasahi jenggot-jenggot mereka. Dan kemudian mereka berkata, "Kami menerima segalah keputusan Rasulullah dan pembagiannya." Kemudian merekapun bubar dan Kembali ke Madinah. Nyaris kaum Anshar terganggu hatinya atas keputusan Rasulullah Saw tentang ghanimah perang. Tapi Allah Swt menyelamatkan mereka setelah mendapat taushiyah dari Rasulullah Saw.

𝗠𝘂𝗹𝘂𝘁𝗺𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶𝗺𝗮𝘂𝗺𝘂

Yang paling sering merusak persaudaraan dan ukhuwwah adalah mulut. Hal itu karena omongan dan ucapan yang membuat hati terluka dan perasaan tersinggung. Akibatnya orang akan menjauh. Dan pastilah itu akan merugikan kita sendiri bila berperilaku seperti itu. Kita akan kehilangan teman, kehilangan kebaikan dan keberkahan. Makanya wajarlah istilah mulutmu adalah harimaumu. Karena akan menghancurkan (menerkam) diri kita sendiri.

Orang beriman dalam bersaudara dan berteman, paling tidak, kalau tidak mampu memberikan kebaikan, minimal tidak menyakiti. Itulah standar terrendah. Bahkan Rasulullah Saw mengumpamakan orang beriman itu bagaikan lebah. Hinggap hanya di tempat yang baik, menggambil hanya yang baik-baik saja, tidak merusak dan lalu memberikan yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ ‏مُحَمَّدٍ‏ ‏بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد. (رواه أحمد).

Artinya: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah. Ia hanya memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Dan ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak." (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir).

Maka sangat penting dalam mejaga pertemanan dan ukhuwwah untuk menjaga lidah. Pikirkan apa yang akan diucapkan. Jangan ucapkan kecuali yang baik-baik saja. Imam An-Nawawi menyebutkan dalam kitabnya Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi'I mengatakan, "Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara)."

𝗗𝗶𝗮𝗺 𝗶𝘁𝘂 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗯𝗮𝗶𝗸

Seorang mukmin memang harus berhati-hati dalam berbicara dan menjaga lisannya. Sebab, seseorang bisa masuk surga dan terhormat hanya karena kalimat baik yang diucapkannya. Dan sebaliknya ia bisa terjungkal ke dalam jurang neraka juga karena kalimat yang diucapkannya. Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله تَعَالَى مَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ الله بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تَعَالَى لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ. (متفق عليه).

Artinya: "Sungguh seorang hamba berbicara dengan satu perkataan yang mengundang keridaan Allah -Ta'ālā- namun dia tidak menganggapnya penting; tetapi dengan perkataan itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan satu perkataan yang mengundang kemurkaan Allah -Ta'ālā-, namun dia tidak menganggapnya penting; tetapi dengan perkataan itu dia terjungkal ke dalam neraka jahanam." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Imam al-Ghazali rahimahullah memberikan nasehat kepada kita, bahwa lisan sungguh amat besar bahayanya. Tidak ada manusia yg bisa selamat dari lisan ini kecuali dengan diam. Oleh sebab itu, Islam memuji orang yang diam tidak berkata kata kecuali yg keluar dari lisanya ini sebuah perkataan yg baik. Dan diantara ciri orang yang beriman itu adalah berkata yang baik atau kalau tidak, lebih baik diam. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت. (متفق عليه).

Artinya: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam." (HR Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ada ulama yang mengatakan bahwa, "Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara." Sesungguhnya Allah Swt telah memastikan kepada kita semua, bahwa tidak satu lafazpun yang terucap oleh kita, pasti ada yang mencatat dan mengawasinya. Allah Swt berfirman:

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ. (ق: 18).

Artinya: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaf: 18).

Wallahu A'laa wa A'lam.

Komentar