𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛 (12)

𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛

Oleh: Irsyad Syafar

𝟭𝟮. 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗜𝗡𝗧𝗔𝗜 𝗕𝗔𝗚𝗔𝗜𝗞𝗔𝗡 𝗗𝗜𝗥𝗜 𝗦𝗘𝗡𝗗𝗜𝗥𝗜

𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗸𝗲𝗯𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻

Sudah menjadi acuan dasar bahwa orang yang beriman mencintai kebaikan dan kenikmatan. Kenikmatan yang paling utama dan bisa sampai ke tingkat wajib adalah kenikmatan yang terkait dengan agama. Sedangkan kenikmatan yang bersifat duniawi hanyalah bersifat mustahab atau di tingkat mubah. Kalau kenikmatan duniawi itu berupa yang terlarang, maka hukumnya menjadi haram.

Maka orang beriman mesti mencintai Allah dan RasulNya, menyukai ibadah dan taqarrub kepadaNya, menyukai apa-apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syariat. Cinta dan suka disini sampai ke tingkat wajib. Sebab di dalam banyak dalil dinyatakan ketidaksempurnaan iman bila seorang mukmin tidak merealisasinya. Sebagai contoh, Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعيْنَ. (متفق عليه).

Artinya: diriwayatkan dari Anas, ia berkata, Nabi Saw bersabda: "Tidaklah sempurna imannya salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." (HR Bukhari dan Muslim).

Kalimat yang menyatakan laa yukminu di dalam hadits di atas menunjukkan makna tidak sempurna iman. Bukan menafikan iman secara keseluruhan sehingga menjadi kafir. Akan tetapi mencintai Rasulullah Saw di atas cinta kepada orang tua, anak dan seluruh manusia dalam hadits ini hukumnya menjadi wajib.Tidak boleh sama apalagi berada di bawahnya.

Di dalam Al Quran Allah Swt juga mengaitkan kesempurnaan iman seseorang kepada kesiapannya untuk mau tunduk dan patuh dibawah hukum dan keputusan Rasulullah Saw. sebagaimana firmanNya:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا. (النساء: 65).

Artinya: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa': 65)

Itu semua adalah kebaikan dan kenikmatan yang terkait urusan agama atau urusan ukhrawi. Adapun terkait kebaikan duniawi, statusnya hanya mustahab (dianjurkan), bukan wajib. Misalnya seorang menjadi kaya, memiliki jabatan, memiliki rumah dan kendaraan, berbadan sehat dan kuat serta tangguh, itu semua tidaklah wajib. Selama diperoleh secara halal lagi benar, maka paling tinggi hukumnya mustahab. Maka setiak mukmin boleh mencintai itu semua untuk dirinya sendiri.

𝗠𝗲𝗻𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝘀𝗮𝘂𝗱𝗮𝗿𝗮𝗻𝘆𝗮

Rasulullah Saw menegaskan di dalam hadits yang shahih:

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ" (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ).

Artinya: Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, pembantu Rasulullah Saw, dari Nabi Saw ia bersabda, "Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian (dengan iman yang sempurna) sampai ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untu dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksud dari hadits ini adalah belum sempurna iman seorang mukmin sampai ia mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga suka kalau sesuatu itu untuk dirinya. Maka bila seorang mukmin mencintai Allah dan RasulNya, tentu ia juga ingin agar saudaranya mencintai Allah dan Rasulullah. Bila ia mencintai untuk dirinya hidayah, kebaikan, amal shalah, maka ia juga suka kalau semua itu ada pada diri saudaranya.

Itu dalam urusan akhirat, adapun dalam urusan duniawi juga bergitu. Bila seorang mukmin suka punya harta, dapat rezki yang halal, berkah dan banyak, mendapatkan posisi, dihargai dan dihormati dan lain sebagainya, maka ia juga suka bila itu semua ada pada saudaranya. Senang hatinya bila melihat saudaranya menjadi kaya, mendapat rezki, jabatan dan nikmat dunia yang halal lainnya.

Hal sebaliknya juga berlaku, yaitu bila seorang mukmin tidak suka berbuat maksiat, tidak senang jatuh kepada dosa, tidak mau meninggalkan ibadah dan kewajiban agama lainnya, maka ia juga tidak suka bila itu semua terjadi pada saudaranya. Ia akan berusaha menghindarkan saudara (temannya) terjerumus kepada semua kesalahan tersebut.

𝗠𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗮𝗽𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗽𝗲𝗿𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻

Diantara yang akan menambah bukti kecintaan kita kepada saudara kita adalah, kita memperlakukannya dengan cara yang kita juga sangat senang diperlakukan seperti itu. Dan kita juga tidak akan bersikap kepada saudara kita dengan sikap-sikap yang kita juga tidak suka dibegitukan.

Misalnya, dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menghargai saudara kita, menyambutnya dengan ramah bila dia bertamu, menempatkannya pada posisi yang terhormat, menyapanya dengan panggilan-panggilan yang dia senangi. Sebba, kita pasti suka dan sangat senang bila diperlakukan seperti itu.

Sebaliknya, kita tidak akan mau merendahkan sahabat atau teman kita, memanggilnya dengan panggilan yang buruk, meremehkan kemampuannya, melecehkan posisinya dan lain-lain. Sebab kita juga sangat tidak mau diperlakukan dengan cara-cara seperti itu. Makna dan pemahaman seperti ini terdapat di dalam hadits Rasulullah Saw:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ. (رواه مسلم).

Artinya: "Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain." (HR. Muslim, no. 1844)

𝗣𝗮𝗱𝗮𝗻𝗴𝗹𝗮𝗵 𝘄𝗮𝗷𝗮𝗵 𝘀𝗮𝘂𝗱𝗮𝗿𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗯𝗶𝗰𝗮𝗿𝗮

Jika kita berbicara secara langsung dengan teman dan ikhwah kita, maka pandanglah wajah orang yang menjadi lawan bicara tersebut. Baik yang berbicara itu kita, ataupun kita yang menjadi pendengarnya. Sebab hal ini akan membuat mereka merasa nyaman dan lebih dihargai. Jangan kita sibuk dengan yang lain semisal hape, kertas atau hal lain yang kesannya kita menyepelekan mereka. Dari hadits Ibnu 'Abbas, beliau berkata:

إنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا فَلَبِسَهُ قَالَ : شَغَلَنِي هَذَا عَنْكُمْ مُنْذُ الْيَوْمَ إِلَيْهِ نَظْرَةٌ وَإِلَيْكُمْ نَظْرَةٌ ثُمَّ أَلْقَاهُ. (رواه النسائي).

Artinya: "Sesungguhnya Rasulullah Saw mempunyai sebuah cincin dan memakainya, Beliau Saw bersabda, "Cincin ini telah menyibukkanku dari (memperhatikan) kalian sejak hari ini (aku memakainya), sesaat aku memandangnya dan sesaat aku melihat kalian". Kemudian beliau pun melempar cincin tersebut." (H. Shahih An Nasa'i : 5304)

Dan apabila ikhwah kita sedang berbicara, maka hendaklah kita tidak memotong pembicaraannya. Orang yang suka memotong pembicaraan orang lain adalah orang yang sangat tidak sopan dan egois. Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata:

إِذَا جَالَسْتَ فَكُنْ عَلىَ أَنْ تَسْمَعَ أَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى أَنْ تَقُوْلَ , وَ تَعَلَّمْ حُسْنَ الْاِسْتِمَاعِ كَمَا تَتَعَلَّمُ حُسْنَ الْقَوْلِ , وَ لَا تَقْطَعْ عَلَى أَحَدٍ حَدِيْثَهُ.

Artinya: "Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain." (Al-Muntaqa hal. 72)

𝗠𝗲𝗻𝘆𝗶𝗺𝗮𝗸 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗻𝘁𝘂𝘀𝗶𝗮𝘀 𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝘁𝗮𝗵𝘂

Disamping menghadapkan wajah kepada lawan bicara, sebaiknya juga menyimak pembicaraannya dengan wajah yang antusias. Walaupun bisa jadi kita sudah paham atau tahu apa yang dibicarakannya itu. Sebab, itu akan membuatnya senang dan bersemangat berbicara. Jangan kita potong pula pembicaraannya, lalu kita katakan: "Ah saya sudah tahu itu…" pasti ia akan sangat kesal atau kecewa.

Begitulah akhlak orang shaleh dan beriman, berupaya membuat saudara dan ikhwahnya menjadi senang dan dihargai. 'Athaa' bin Abi Rabah seorang ulama, mufassir dan faqih di masa tabi'in pernah berkata:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحَدِّثُنِي بِالْحَدِيْثِ فَأَنْصَتُّ لَهُ كَأَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُوْلَدَ.

Artinya: "Ada seseorang laki-laki bercerita kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu. Padahal, sungguh aku sudah pernah mendengarnya sebelum ia dilahirkan." (Siyar A'laam An-Nubala 5/86).

Betapa agungnya akhlak 'Athaa' ini dalam berkomunikasi dan berbicara dengan lawan bicaranya. Ia jaga perasaannya, dan ia lakukan apa yang sekira-kira ia juga senang diperlakukan seperti itu.

𝗠𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮𝗶 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝘂𝗸𝗮𝗻𝘆𝗮

Diantara yang akan semakin menguatkan pertemanan dan ukhuwwah adalah membersamai kebahagiaan teman/ikhwah kita ketika dia bahagia atau membersamai dukanya dikala ia berduka. Tentunya dalam hal yang disyariatkan dan dibolehkan dalam agama Islam. Misalnya jika ia mendapatkan nikmat, ada anak yang baru lahir, atau keluarganya ada yang menikah, maka kita ikut berbahagia dengannya. Bisa dengan membersamainya, atau paling tidak, memberikan ucapan selamat dan doa-doa kebaikan. 

Rasulullah Saw sangat berbahagia ketika Allah Swt telah menerima taubat Ka'ab bin Malik dan dua orang sahabatnya lagi yang tidak ikut perang Tabuk. Yaitu dengan turunnya firman Allah Swt dalam surat At Taubah:

وَعَلَى ٱلثَّلَٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ. (التوبة: 118).

Artinya: "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS AT Taubah: 118).

Maka Rasulullah Saw menyampaikan ucapan selamat kepada Ka'ab bin Malik yang telah hadir di depannya. Beliau bersabda:

أَبْشِرْ يَا كَعَب بْنِ مَالِكٍ بِخَيْرِ يَوْمٍ أَتَى عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ»، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، أَمِنْ عِنْدِ اللهِ أَمْ مِنْ عِنْدِكَ؟ قَالَ: "بَلْ مِنْ عِنْدِ اللهِ." (رواه الترميذي).

Artinya: "Bergembiralah engkau wahai Ka'ab bin Malik, dengan hari terbaik yang datang kepadamu semenjak engkau dilahirkan oleh ibumu." Ka'ab bertanya: "Wahai Nabi Allah, apakah (kabar baik) ini dari Allah atau darimu?" Rasulullah menjawab, "Tidak, ini datang dari Allah." (HR Tirmidzi).

Sebaliknya, Rasulullah Saw juga berempati kepada sahabat yang sedang mengalami kesedihan. Baik karena tertimpa musibah atau mengalami kezaliman dari orang-orang kafir. Rasulullah Saw berempati kepada keluarga Ammar bin Yasir ketika kedua orang tuanya dibunuh oleh dedengkot kafir Quraisy. Rasulullah Saw bersabda:

صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الجَنَّةُ. (رواه الحاكم).

Artinya: "Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Kalian telah dijaminkan surga." (HR. Al-Hakim dalam Al-Mutadrak).

Maka ikut serta berbahagia dengan kebahagiaan saudara kita adalah ciri keberimanan dan akhlak orang-orang shaleh. Para sahabat ikut berbahagia bersama kebahagiaan Rasulullah Saw. Dan sebaliknya mereka juga ikut bersedih dikala Rasulullah Saw bersedih. Jangan sampai ketika kawan kita berbahagia, kita malah bersedih. Dan kala ia berduka kita malah bersenang-senang.

Wallahu A'laa wa A'lam.

Komentar