𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛 (15)

𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛

Oleh: Irsyad Syafar

𝟭𝟱. '𝗜𝗙𝗙𝗔𝗛, 𝗠𝗘𝗡𝗔𝗠𝗣𝗔𝗞𝗞𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗖𝗘𝗥𝗜𝗔𝗔𝗡, 𝗠𝗘𝗡𝗬𝗘𝗠𝗕𝗨𝗡𝗬𝗜𝗞𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗦𝗨𝗦𝗔𝗛𝗔𝗡

'𝗜𝗳𝗳𝗮𝗵 𝗶𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗴𝗮 𝗸𝗲𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶

'Iffah artinya menahan atau menjaga. Maksudnya adalah menahan diri dan menjaga kehormatannya dari gejolak hawa nafsu, syahawat dan emosional. Ia merupakan akhlak yang mulia seorang mukmin dan indikasi tingginya budi pekerti seseorang. Ia merupakan buah dari keimanan seseorang kepada Allah Swt dan terlahir dari sifat pemalunya seorang mukmin.

Akhlak yang mulia ini diisyaratkan Allah Swt dalam surat An Nisa ketika memberikan arahan kepada siapa saja yang memegang dan mengurus harta anak yatim, agar tidak sembarangan mengambil dan memakainya. Bagi yang masih punya harta sebaiknya menahan diri untuk mengambilnya. Sedangkan yang memang miskin, boleh memakai harta anak yatim yang diurusnya, tapi harus hati-hati dan dengan cara yang baik. Allah Swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا۟ ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ . (النساء: 6).

Artinya: "Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut." (QS An Nisa: 6).

Di dalam surat An Nur, Allah Swt membolehkan perempuan-perempuan yang sudah agak tua, sudah monopouse dan tidak hamil lagi, yang tidak ingin menikah lagi, mereka tidaklah berdosa jika menanggalkan sebagian pakaian mereka seperti selendang dan cadar.  Atau mereka tidak menutup sebagian aurat-auratnya yang ringan, dengan maksud tidak menampakkan perhiasan tersembunyi yang diperintahkan untuk disembunyikan. Akan tetapi, memilih untuk 'iffah (menjaga diri) tetap lebih baik di sisi Allah. Yaitu dengan tetap menutup aurat sesuai standar normal. Allah Swt berfirman:

وَٱلْقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِى لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَٰتٍۭ بِزِينَةٍ ۖ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (النور: 60).

Artinya: "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana." (QS An Nur: 60).

Rasulullah Saw memuji sifat 'iffah dan mendoakan pemiliknya dengan kekayaan dan kecukupan dari Allah Swt. Beliau Saw bersabda:

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ. (متفق عليه).

Artinya: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Syafi'I pernah menyatakan, "Kehebatan seseorang terletak pada tiga perkara: Pertama, kemampuan menyembunyikan kemelaratan, sehingga orang lain menyangkamu berkecukupan karena kamu tidak pernah meminta, dan selalu merasa syukur. Kedua, kemampuan menyembunyikan amarah, sehingga orang mengiramu merasa ridha, karena tampak wajah yang ceria. Dan ketiga, kemampuan menyembunyikan kesusahan, sehingga orang lain mengiramu selalu senang, karena tertutup dengan amal sholeh."

𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘆𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗶𝘀𝗸𝗶𝗻𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝘁𝗮𝗻

Dalam Islam, bersyukur itu merupakan akhlak yang tinggi, melebihi akhlak sabar. Bila ada orang yang mampu bersabar disaat kesusahan, mungkin itu biasa. Tapi kalau ada yang mampu bersyukur di saat ia susah, itu baru luar biasa. Makanya Allah menyebutkan bahwa memang sedikit sekali hambaNya yang bersyukur. Allah Swt berfirman:

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

Artinya: "Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (QS Saba: 13).

Bila hamba yang beriman memiliki sifat syukur yang cukup, maka ia tidak akan merasa kekurangan, tidak berani meminta-minta karena itu bukan perbuatan yang baik. Sehingga orang lain akan selalu melihat dan mengiranya dalam kecukupan. Dengan penuh syukur, insyaAllah kita akan merasa cukup karena Allah yang memberi kecukupan. 

𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘆𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸𝗸𝗮𝗻 𝗿𝗶𝗱𝗵𝗮

Setiap manusia pasti memiliki amarah, dan ada saatnya ia terpaksa atau harus marah. Akan tetapi ada orang yang bisa menahan dan mengendalikannya. Dan ada juga orang yang tidak bisa mengendalikannya. Sehingga terlihat oleh orang lain bahwa ia tidak ridha dengan sesuatu yang terjadi atau menimpanya. Rasulullah saw. bersabda ketika menyebutkan orang yang kuat beneran:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ. (متفق عليه)

Artinya: "Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak yang baik salah satunya adalah menahan amarah dan menyembunyikannya. Hanya orang yang sabar yang mampu menahan diri dari gangguan syetan dan gejolak nafsu. Dan biasanya kebanyakan orang suka berteman dan dekat dengan orang yang jarang atau tidak pemarah. Bila ada orang yang pemarah, biasanya orang akan menjauh darinya. Paling tidak, malas berlama-lama dengan orang tersebut.

𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘆𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘀𝘂𝘀𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗰𝗲𝗿𝗶𝗮

Orang yang kuat iman dan jiwanya juga adalah orang yang mampu menyembunyikan kesusahannya. Ia tetap tampil ceria dan wajah berseri, walaupun sebenarnya ia punya beban dan masalah. Sehingga orang lain mengiranya dalam keadaan senang dan bahagia. Inilah diantara akhlak para sahabat dari kaum Muhajirin.

Allah Swt memuji sifat kaum Muhajirin yang faqir dan miskin, akan tetapi mereka tetap pergi dan bersemangat untuk berjihad di jalan Allah Swt. Padahal mereka tidak mempunyai harta, dan tidak punya waktu yang memadai untuk berusaha. Kepada kaum Anshar diseru untuk memprioritaskan sedekah kepada mereka yang penuh 'iffah ini. Allah Swt berfirman:

لِلْفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحْصِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِى ٱلْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ ٱلْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَٰهُمْ لَا يَسْـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ. (البقرة: 273).

Artinya: "(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui." (QS Al Baqarah: 273).

𝗭𝘂𝗵𝘂𝗱 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗺𝗮𝗻𝘂𝘀𝗶𝗮 𝗯𝗶𝗸𝗶𝗻 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗶

Rasulullah Saw mengajarkan bahwa untuk meraih cinta Allah Swt banyak sekali cara dan jalannya. Salah satunya adalah dengan zuhud terhadap dunia. Maksudnya adalah menahan diri dan mengurangi diri dari nikmat dunia yang mubah, padahal kita sanggup untuk mendapatkannya. Adapun orang yang memang tidak mampu dan tidak punya (miskin) itu bukanlah dikatakan zuhud.

Lalu Rasulullah Saw juga memberikan petunjuk bagaimana supaya kita disenangi dan dicintai oleh manusia. Yaitu dengan cara zuhud kepada manusia. Maksudnya adalah menghindari meminta-minta kepada manusia. Sebab, secara umum, orang tidak suka kepada orang yang suka meminta-minta kepadanya. Dan lebih berempati kepada yang menyembunyikan kemiskinannya. Rasulullah Saw bersabda di dalam haditsnya:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ: دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ؟ فَقَالَ: «اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ» (حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ).

Dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata, "Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku." Beliau menjawab, "Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu." (Hadits hasan, riwayat Ibnu Majah).

Hadits ini secara jelas mengajarkan bagaimana kiat-kiat disenangi manusia. Yaitu dengan cara seorang zuhud terhadap apa yang ada pada manusia. Sikap seperti itu akan menjadi penyebab baginya untuk mendapatkan kecintaan mereka. Dan zuhud yang seperti ini juga akan membuatnya memperoleh kebaikan dan keselamatan dari berbagai kejelekan manusia.

𝗠𝗲𝗻𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗺𝗮𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗵𝗮𝗿𝘁𝗮 𝘀𝗮𝘂𝗱𝗮𝗿𝗮 𝗸𝗶𝘁𝗮

Dalam pergaulan dengan teman dan ikhwah, kita tidak saja dianjurkan menahan pandangan dari aurat orang lain. Baik aurat lelaki antara pusar dan lutut, maupun aurat perempuan yang merupakan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sebagaimana di dalam hadits Nabi Saw terdapat larangan tersebut:

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ. (رواه مسلم).

Artinya: "Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, dan tidaklah (boleh) seorang laki-laki bersatu dengan laki-laki lain dalam satu baju (kain). Dan tidaklah (boleh) seorang wanita bersatu dengan wanita lain dalam satu baju (kain)." (HR Muslim).

Lebih dari itu, kita juga dianjurkan untuk menahan pandangan kita dari harta suadara atau orang lain. Bisa jadi harta mereka tersebut adalah ujian dari Allah Swt terhadap mereka. Allah berfirman:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ. (طه: 131).

Artinya: "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS Thaha: 131).

Bila kita bertamu ke rumah saudara atau teman kita, maka tahanlah pandangan. Jangan sampai mata kita "gentayangan" kemana-mana memantau harta dan kekayaan orang lain. Cukuplah kita bersilaturrahim dan berbicara hal yang baik-baik untuk dunia dan akhirat kita. Kalau kita tidak menahan pandangan, khayalan dan angan-angan kita akan muncul dan memperdaya kita.

Allah Swt mencela kaum Nabi Musa yang terpesona dengan kekayaan Qarun, dan berangan-angan untuk memilikinya. Sebaliknya Dia memuji orang beriman yang bisa menahan diri dan pandangannya, dan mengembalikan segala sesuatu kepada kekayaan Allah Swt. Allah Ta'alaa berfirman:

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ فِى زِينَتِهِۦ ۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا يَٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ أُوتِىَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيم.ٍ وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ. (القصص: 79-80).

Artinya: "Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar." Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar." (QS Al Qashash: 79-80).

Wallahu A'laa wa A'lam.

Komentar