𝗦𝗲𝗿𝗶𝗮𝗹: 𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗠𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗨𝗞𝗛𝗨𝗪𝗪𝗔𝗛
Oleh: Irsyad Syafar
𝟭𝟳. 𝗛𝗢𝗥𝗠𝗔𝗧𝗜 𝗢𝗥𝗔𝗡𝗚 𝗧𝗨𝗔𝗡𝗬𝗔 𝗗𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗬𝗔𝗡𝗚𝗜 𝗞𝗘𝗟𝗨𝗔𝗥𝗚𝗔𝗡𝗬𝗔
𝗞𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻 𝗯𝗶𝗿𝗿𝘂𝗹 𝘄𝗮𝗹𝗶𝗱𝗮𝗶𝗻 𝘀𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗺𝘂𝘀𝗹𝗶𝗺
Salah satu ibadah yang paling utama setelah mentauhidkan Allah Swt adalah berbakti kepada kedua orang tua, atau bahasa lainnya birrul walidain. Cukup banyak ayat Al Quran yang menempatkan perintah birrul walidain setelah perintah bertahid kepada Allah Swt. Salah satunya firman Allah Ta'alaa:
وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ. (النساء: 36).
Artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu." (QS An Nisa: 36).
Masih ada perintah senada terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 83, juga surat Al Isra ayat 23 dan surat Luqman ayat 14. Bahkan Rasulullah Saw menyebutkan bahwa redha Allah Swt sangat tergantung dengan redha orang tua. Sebagaimana terdapat di dalam hadits dari Abdullah bin 'Umar, Rasulullah Saw berkata:
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ سَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ. (رواه الترميذي)
Artinya: "Ridha Allah tergantung pada ridha orangtua dan murka Allah tergantung pada murka orangtua." (HR. Tirmidzi)
Dengan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa berbakti dan menghormati kedua orang tua adalah sebuah ibadah yang sangat mulia dan akan mendatangkan redha dari Allah Swt.
𝗠𝗲𝗻𝗰𝗲𝗹𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮 𝘁𝗲𝗺𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗲𝗹𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶
Disamping perintah Allah Swt untuk menghormati orang tua, Allah Swt mengharamkan perbuatan mencela dan menghardik mereka dengan kata-kata yang kasar. Allah Swt berfirman:
اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا. (الإسراء: 23)
Artinya: "Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS Al Isra: 23).
Seiring dengan perkembangan zaman dan rusaknya peradaban manusia, telah banyak terjadi perbuatan tercela yang dilarang Allah Swt, yaitu durhaka kepada kedua orang tua. Para salafus shaleh di kalangan sahabat mungkin dahulu tidak membayangkan orang akan durhaka dan membentak kedua orang tuanya. Tapi pada saat ini kita malah menjumpai lebih buruk dari itu. Ada anak yang sampai berani memukul, menyiksa dan bahkan sampai membunuh orang tuanya. Ini tentunya indikasi penurunan akhlak yang luar biasa.
Dahulu Rasulullah Saw melarang para sahabat dari mencela kedua orang tua. Maka mereka heran, bagaimana perbuatan buruk itu terjadi. Diriwayatkan dari sahabat 'Amr bin Al-'Ash, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ.
Artinya: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orang tuanya."
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ. (رواه مسلم).
Artinya: "Benar. Seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya." (HR. Muslim no. 90).
Maka perbuatan mencela dan tidak menghormati ayah atau ibu orang lain dianggap sama dengan mencela kedua orang tua sendiri. Sebaliknya tentu menghormati dan menghargai orang tua dari teman dan saudara kita itu sama dengan menghormati kedua orang tua sendiri.
𝗛𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶
Sebagai bentuk pertemanan dan ukhuwwah yang baik maka kita dianjurkan menghormati orang tua dari teman atau saudara kita. Perlakukan dan tempatkan mereka seperti kita memperlakukan ayah dan ibu sendiri. Bila kita bersilaturrahim ke rumah teman atau ikhwah, maka sapalah ayah dan ibunya dengan baik dan penuh hormat.
Jangan kita hanya sibuk dan akrab dengan anaknya saja. Lalu kita abai dengan ayah atau ibunya. Seolah-olah mereka dianggap tidak ada di rumah itu. Padahal merekalah tuan rumah dan penguasanya. Dan seandainya ayah dan ibu kita yang dicuekki oleh teman kita, pastilah kita juga akan merasa tersinggung. Sesungguhnya menghormati orang yang lebih tua sudah menjadi akhlak bagi seorang mukmin, apalagi kalau itu adalah orang tua dari teman dekat kita sendiri. Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا. (رواه الترميذي).
Artinya: "Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua." (HR. at-Tirmidzi no. 1842 dari shahabat Anas bin Malik)
𝗥𝗮𝘀𝘂𝗹𝘂𝗹𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮 𝗭𝗮𝗶𝗱 𝗯𝗶𝗻 𝗛𝗮𝗿𝗶𝘁𝘀𝗮𝗵
Zaid bin Haritsah adalah salah satu sahabat Nabi yang mulia. Beliau satu-satunya sahabat yang namanya tercantum di dalam Al Quran, yaitu di surat Al Ahzab tentang pernikahan dengan zainab. Beliau adalah sahabat kesayangan Rasulullah dan anak kandungnya (Usamah bin Ziad) juga sahabat kesayangannya.
Awal Zaid bin Haritsa ini adalah seorang budak. Hal itu karena dulu waktu kecil, ia dan ibunya dirampok oleh penyamun dan dijual di pasar budak. Kemudian Zaid ini dibeli oleh Khadijah binti Khuwailid. Setelah menikah dengan Rasulullah Saw, Khadijah menghadiahkan Zaid kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulpun kemudian memerdekakannya. Namun setlah merdeka, Zaid tetap bersama Rasulullah Saw melayaninya dan mendampinginya.
Pada suatu musim haji, Haritsah bin Surahbil dan saudara kandungnya Ka'ab bin Surahbil berhaji ke Makkah bersama kaum mereka. Tanpa sengaja kemudian Surahbil mendapatkan informasi bahwa anak kandungnya ada bersama Rasulullah Saw. Maka kemudian mereka berdua menemui Rasulullah Saw dan sangat memohon agar anaknya dikembalikan kepadanya.
Rasulullah Saw menghargai permintaannya tersebut dan sangat memahaminya. Tapi Beliau memberikan pilihan lain. Beliau Saw berkata: "Biarkan Zaid yang memilih, jika dia memilih kalian, maka dia untuk kalian (merdeka). Jika dia memilih denganku, maka demi Allah, aku tidak akan memaksa pilihan seseorang sama sekali." Haritsah sangat senang dengan respon Rasulullah Saw, dan berkata, "Sungguh engkau telah melebihkan kami separo, bahkan engkau telah berbuat baik kepada kami."
Ternyata Zaid memilih untuk tetap bersama Rasulullah Saw dan tidak memilih ikut ayah dan pamannya. Sehingga ayahnya menjadi heran dan berkata, "Engkau pilih menjadi budak dari pada merdeka mengikuti kami?" Zaid menjawab, "Demi Allah, aku telah menyaksikan dari lelaki ini (Rasulullah) yang tidak mungkin aku akan memilih seorangpun yang lain."
Rasulullah melihat dan menangkap kegalauan dan kesedihan ayah dan paman Zaid yang kecewa karena anaknya ternyata tidak mau ikut kembali bersama mereka ke kampung halaman, dan tetap rela bersama Rasulullah Saw (menjadi budak). Maka rasulullah Saw segera menarik Zaid dan membawanya ke hijir Ismail di depan Ka'bah.
Lalu Beliau berbicara dengan lantang di hadapan kaum Quraisy: "Wahai orang-orang yang hadir, saksikanlah Zaid ini anakku, aku mewarisinya dan dia mewarisiku!". Mendengar ucapan Rasulullah Saw itu, ayah dan paman Zaid menjadi nyaman, dan mereka rela meninggalkan Zaid di Makkah dan kembali ke kampung halaman.
Kisah ini terjadi saat belum dihapus budaya mengambil anak angkat, dan sebelum Rasulullah Saw diangkat mejadi Nabi. (Terdapat dalam sunan At Thabrani).
𝗣𝗲𝗱𝘂𝗹𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗷𝗮𝗺𝗶𝗻𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝘁𝘂𝗮
Ketika kita menghormati dan peduli dengan orang tua (termasuk di dalamnya orang tua teman) sebenarnya itu adalah tabungan hari tua kita sendiri. Karena kelak ketika kita juga sudah tua, Allah Swt akan menggantinya dengan orang lain yang juga akan peduli dengan kita yang sudah tua. Sebagaimana di dalam hadits, Rasulullah Saw bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُكْرِمُ ذَا الشَّيْبَةِ؛ إلاَّ قيَّضَ اللهُ لَهُ مَنْ يُكرِمُهُ فِي سِنِّهِ. (رواه الترميذي والبيهقي).
Artinya: "Tidak ada seorang muslimpun yang memuliakan orang yang sudah tua, melainkan Allah akan siapkan baginya orang yang akan memuliakannya disaat usia sudah tua juga." (HR Tirmidzi dan Baihaqi).
Dengan arahan Rasulullah Saw ini menunjukkan bahwa masyarakat muslim sebenarnya adalah masyarakat yang saling menghormati, mempunyai kedekatan dan hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Jauh dari sikap sombong dan individualisme. Maka seorang teman yang baik dan ikhwah yang setia tidak saja berbuat baik kepada teman dan kedua orang tuanya. Tapi juga berbuat baik kepada keluarganya.
𝗪𝗮𝗿𝗶𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗵𝗹𝗮𝗸 𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮 𝗶𝗻𝗶 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗻𝗮𝗸
Akhlak mulia menghormati orang tua teman dan ikhwah harus diajarkan dan diwariskan oleh setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka. Dan Langkah awalnya adalah membiasakan anak-anak untuk menghormati orang tuanya dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang. Sehingga kemudian anak-anak tersebut membawa akhlak mulia ini keluar rumahnya dan sampai usia dewasanya.
Ummul mukminin Aisyah ra meriwayatkan betapa Rasulullah Saw bergaul dengan akhlak yang sangat mulia dengan anaknya Fathimah ra. ia berkata, "Tidak ada saya lihat orang yang paling mirip akhlak dan perilakunya dengan Rasulullah melebihi Fathimah." Lalu Aisyah ra berkata:
وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلىَ النَّبِيِّ -صَلَّى الله عَلَيْهِ وسَلَّم- قَامَ لَهَا وَقبَّلَهَا، وَأَخَذَ بِيَدِهَا وَأَجَلَسَهَا مَجْلِسَهُ، وَكَانَ إِذَا دَخَل عَلَيْهَا تَقُوْمُ لِأَبِيْهَا النَّبِيّ -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم- وَتُقَبِّلُهُ وَتُقْعِدُهُ فِي مَجْلِسِهَا. (رواه البخاري في أدب المفرد والترميذي والنسائي).
Artinya: "Fathimah itu bila bertamu kepada Rasulullah Saw, Beliau berdiri menyambutnya dan menciumnya. Lalu Beliau memegang tangan Fathimah dan mendudukan Fathimah di tempat duduknya. Dan bila Rasulullah Saw yang bertamu ke Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambut ayahnya, menciumnya dan mendudukan ayahnya di tempat duduknya." (HR Bukhari dalam Adab Mufrad, Tirmidzi dan Nasa'i).
𝗣𝗼𝘀𝗶𝘀𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝘁𝘂𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗯𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗮𝘁
Sikap memuliakan orang yang lebih tua umurnya di tengah masyarakat juga ditanamkan Rasulullah Saw kepada para sahabat semenjak dalam prosesi shalat berjamaah. Dimana Rasulullah Saw mengajarkan kepada para sahabat bahwa yang berdiri di belakang Beliau dalam shalat adalah makmum yang usianya lebih tua dan lebih berilmu. Rasulullah Saw bersabda:
لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. (رواه مسلم).
Artinya: "Hendaknya yang berada di belakangku ialah ulul ahlam wan nuha (orang yang sempurna akal dan fikirannya) kemudian yang setelah itu kemudian yang setelah itu." (HR Muslim).
Maka yang berdiri di belakang imam haruslah orang yang lebih tua dan lebih berilmu. Adapun anak-anak dipindahkan ke shaf berikutnya atau tidak langsung berada di belakang imam. Para sahabat semisal Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya, mangamalkan petunjuk Rasulullah ini ketika mereka menjadi imam.
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4188) meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibrahim (putra Abdurrahman ibn 'Auf) pernah berkata:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا رَأَى غُلَامًا فِي الصَّفِّ أَخْرَجَهُ.
Artinya: "Sesungguhnya 'Umar bin Al Khattab apabila melihat anak kecil dalam shaf shalat beliau mengeluarkannya dari shaf."
Pernah ada seorang sahabat yang melihat seorang anak kecil berada pada shaf yang pertama dalam shalat. Lalu ia memindahkan anak tersebut dari shaf pertama ke shaf berikutnya. Rupanya ayah dari anak ini sepertinya kurang berkenan terhadap Tindakan sahabat tadi. Maka sahabat tersebut berkata, "Wahai saudaraku, ini adalah sunnah Rasulullah."
Dengan penanaman nilai dan akhlak mulia seperti ini, maka anak-anak akan tersimpan dalam pikiran dan terbiasa dalam perilakunya, bahwa orang yang lebih tua harus dihormati dan dihargai. Tidak boleh diperlakukan sama saja seperti teman sejawat. Apalagi kalau sampai direndahkan dan dihina. Itu adalah perbuatan yang tercela.
Wallahu A'laa wa A'lam.
Komentar
Posting Komentar