RABIUL AWAL YANG ISTIMEWA*

*RABIUL AWAL YANG ISTIMEWA*

Oleh: Irsyad Syafar

Bulan Rabiul Awal adalah salah satu bulan yang istimewa dalam sejarah peradaban Islam. Di bulan tersebutlah lahirnya Baginda Rasulullah Saw, di kota Makkah. Di bulan itu juga Beliau hijrah ke Madinah, berangkat dari gua Tsur pada tanggal 1 dan sampai di Madinah tanggal 12 Rabiul Awal. Dapat dikatakan, berdirinya "negara" Madinah adalah di bulan Rabiul Awal.

Pada tanggal 12 Rabiul Awal Rasulullah Saw wafat, kembali kepada Rabbnya. Dan berarti pada tanggal itu pula bermulanya suksesi kepemimpinan umat, dari seorang Rasul kepada seorang Khalifah. Nyaris ketika itu terjadi pertikaian tajam yang menjurus kepada perpecahan umat, karena perbedaan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar, tentang siapa yang layak menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah Saw. Namun dengan izin Allah Swt, Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah secara ijmak oleh seluruh penduduk Madinah.

Maka peristiwa-peristiwa penting di bulan Rabiul Awal tersebut jauh lebih penting dan lebih istimewa dari pada hari kemerdekaan sebuah negara, atau hari lahirnya sebuah kerajaan atau seorang raja. Karenanya, hari-hari tersebut layak untuk terus dikenang dan diingatkan kepada umat, agar mereka senantiasa loyal kepada agama dan Rasul yang membawanya.

Allah Swt berfirman:

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ.

Artinya: "Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur." (QS Ibrahim: 5).

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari "hari-hari Allah" itu adalah pertolongan-pertolongan dari Allah dan nikmat-nikmat dariNya. Maka, pertolongan dan nikmat Allah mana lagi yang lebih besar dan paling utama dari diutusnya Muhammad bin Abdullah sebagai Nabi dan Rasul kepada kita?

Tentulah sangat wajar dan terpuji bila pada hari-hari di bulan Rabiul Awal ini, para Da'i, Ustadz, Buya, Tuangku dan sebagainya, mengajak umat untuk kembali mempelajari Sirah Rasulullah, mendalami lagi ajaran dan sunnahnya serta menguatkan loyalitas dan kecintaan kepada Allah dan RasulNya. Bila agenda ta'lim  dan kajian tersebut dinamakan dengan Maulid Nabi, itu hanyalah sebuah casing, agar momennya mudah dikenang dan diingat. Bukan sebagai sebuah hari raya yang harus ada ritual khususnya.

Tidaklah ilmiah bila dengan simpel ada orang yang mengatakan Maulid Nabi itu adalah bid'ah dan sesat. Alasannya juga sangat simpel, Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Hal ini tidak layak dijadikan dalil atau alasan. Betapa banyaknya hal-hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah Saw, tapi kemudian diperbuat oleh para sahabat dan tabiin setelahnya.

Sebaliknya, juga tidak tepat bila ada yang menjadikan tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari raya, dengan ritual ibadah khusus yang tidak boleh dikurangi ataupun dihilangkan. Sebab, Allah dan RasulNya sudah tetapkan hanya 2 hari raya bagi kaum muslimin, Idul Fitri dan Idul Adha. Dan juga tidak ada lagi ruang untuk membuat ibadah dan ritual baru bagi siapapun setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Miris jadinya dan sedih rasa di hati, bila kedatangan bulan Rabiul Awal justru menjadi momen umat saling berdebat dan berbantah-bantahan. Barisan kaum muslimin semakin porak poranda, dan kaum kafir berbahagia melihatnya. Itulah yang akan selalu terjadi bila masalah-masalah furu' (cabang) dalam agama dijadikan sebagai masalah ushul (pokok). Perdebatan dan khilafiyah tak akan pernah berakhir.

Dengan terusnya umat berdebat dan berbantah-bantahan, maka hati akan rusak, ukhuwwah menjadi lemah dan suburlah kebencian dan permusuhan. Akibatnya lebih dekat kepada kerusakan dan kesesatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً.

Artinya: "Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) :'Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja'". (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Wallahu A'laa wa A'lam.

Komentar