*BERGURU KEPADA SALAF (7)*
Oleh: Irsyad Syafar
Beliau ada salah seorang tokoh di Madinah, dan salah satu pemimpin dari Bani Salamah, semenjak sebelum Islam. Beliau figur yang sangat dihormati disana. Namanya Amru bin Aljamuh bin Zaid Al Anshary. Beliau juga ipar dari Sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin Al Haraam.
Beliau tidaklah termasuk yang awal-awal masuk Islam dikalangan Anshar. Ketika Mush'ab bin Umair diutus Rasulullah berdakwah ke Madinah, dan banyak orang berbondong-bondong masuk Islam, Amru bin Jamuh sendiri tidak mudah segera menjadi muslim. Padahal sudah banyak keluarganya yang masuk Islam.
Saat orang-orang Madinah dan kerabatnya sudah banyak yang masuk Islam, Amru masih saja menyembah berhala. Ia punya berhala "manaf" yang dibuatkannya ruangan khusus. Berulang kali kerabatnya "ngerjain" berhalanya ini di malam hari, agar dia sadar dan mau masuk Islam. Tapi belum berhasil juga.
Sampai akhirnya suatu malam "simanaf" ini diambil mereka lalu dipatah-patahkan dan diikatkan ke bangkai lalu dibuang ke lobang sumur. Itu tujuannya untuk menyampaikan kepada beliau bahwa benda ini tak layak jadi tuhan. Sebab, membela diri sendiri saja gak bisa. Apalagi akan menolong orang banyak.
Di tahun kedua hijriyah Amru bin Jamuh masuk Islam. Sebenarnya beliau ingin ikut berangkat dalam perang Badar. Tapi karena beliau kakinya "pincang" maka anak dan keluarganya melarang. Dan dua anak bujangnya, Muadz dan Mu'awidz bin Amru ikut dalam barisan pasukan Rasulullah Saw. Dan kita sudah tahu bahwa Muadz anak beliau adalah salah satu bintang atau pahlawan perang badar. Sebab dia berhasil membunuh Abu Jahal.
Pada tahun ke 3 hijriyah, menjelang akan perang Uhud, Beliau juga ingin ikut berperang. Tapi lagi-lagi anak dan keluarga melarang. Sebab Allah sudah kasih keringanan bagi yang "pincang" tidak wajib lagi ikut berjihad. Dan diapun sudah diwakili oleh anak-anaknya yang ikut sebagai pasukan Rasulullah. Kali ini Amru bin Jamuh gak mau ditolak lagi. Dia berkata: "Tidak bisa, mereka bisa pergi ke surga, saya duduk saja disini!"
Lalu beliau berangkat menghadap Rasulullah minta izin untuk ikut berjihad. Anak-anaknya mengejar dari Belakang. Setelah sampai di hadapan Rasul, Amru "curhat" kepada Beliau: "Wahai Rasulullah, anak-anak saya menghalangi saya ikut berjihad. Tapi saya juga ingin menginjak surga dengan kaki saya yang pincang ini." Maka Rasulullah mengizinkannya dan mendoakannya dapat mati syahid.
Dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Amru bertanya kepada Rasulullah Saw: "Jika aku berperang lalu terbunuh dalam jihad ini, apakah aku masuk surga dengan kaki kembali sehat?" Rasulullah menjawab, "Ya." Lalu Amru masti syahid di perang Uhud tersebut. Ketika Rasulullah Saw melewati jenazahnya, Beliau berkata: "Seolah-olah aku menyaksikan kakinya sudah sehat (normal) berjalan di surga." (HR Ahmad, dishahihkan Albany).
Kemudian Amru bin Jamuh dikuburkan dalam satu liang dengan iparnya Abdullah bin Al Haram. Karena keduanya sahabat yang sangat dekat dan saling mencintai karena Allah. 46 tahun setelah peristiwa itu, terjadilah banjir besar dikawasan pekuburan Uhud, sehingga membongkar kuburan-kuburan tersebut. Abdullah bin Jabir bin Alharam menceritakan bahwa jasad ayahnya dan pamannya itu masih utuh, segar dan lunak. Wajah keduanya penuh senyuman dan redha. Seolah-olah keduanya sedang tidur. (Diceritakan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail Nubuwwah, dan juga terdapat dalam riwayat Malik bin Anas).
Pelajaran
========
1. Generasi salaf itu memiliki semangat jihad yang luar biasa. Bahkan saat mereka sudah dapat rukhshah-pun mereka tetap berebut untuk pergi berjihad. Sebab mereka juga ingin meraih mati syahid dan mendapatkan hadiah surga. Sementara, tiket surga memang lebih banyak tersedia dibawah "kilatan pedang".
2. Amru bin Jamuh dan Abdullah bin Al Haram berukhuwwah dengan kuat. Maka mereka dimuliakan Allah dengan syahid bersama, dan dimuliakan Rasul dengan dikubur bersama juga. Betapa mulianya berukhuwwah dan bersaudara karena Allah. Saling mencintai karena sesama muslim. Bukan karena fanastime organisasi atau kelompok pengajian. Dengan ukhuwwah seperti itu generasi salaf mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus dari Allah dan RasulNya.
3. Keterbatasan seseorang, baik berupa fisik ataupun yang lainnya, tidak menghalanginya untuk bisa berkontribusi maksimal bagi Islam dan kaum muslimin, dan kemudian bisa meraih derjat yang mulia disisiNya. Karenanya, mukmin yang cerdas itu selalu mencari berbagai alasan untuk bisa berkontribusi dan ikut serta dalam berjuang. Bukan sebaliknya, mencari-cari alasan atau dalih untuk tidak mau berjuang dan berkorban.
Kalau orang munafiq, mereka kadang berteriak-teriak seolah-olah terdepan membela Islam. Tapi saat datang seruan jihad dan panggilan untuk berjuang, mereka berpaling dan menghindar. Bila para pejuang kalah, mereka akan berkomentar, "Tu kan, kami sudah bilang, kalian gak mau dengar masukan dan masehat kami. Akibatnya kalian banyak yang mati."
4. Abdullah bin Jabir adalah Sahabat. Dia hidup sampai setelah masa Khalifah Ali bin Abi Tahlib. Ia menyaksikan jasad (jenazah) ayah dan pamannya setelah 46 tahun masih utuh, lunak dan segar, tidak rusak sama sekali. Bahkan diwajahnya terlihat guratan senyum dan redha. Ini merupakan bukti dari firman Allah yang menyatakan bahwa para syuhada itu tidaklah mati. Melainkan mereka tetap hidup, diberi rezki oleh Allah. Akan tetapi kita tidak mengetahuinya. (Terdapat dalam QS Ali Imran: 169).
Oleh karena itu, kita tidak perlu sedih dan menangisi orang-orang yang mati syahid (syuhada) dalam medan jihad. Apalagi kalau ada yang sampai menyesalinya. Itu sangatlah keliru. Sesalilah diri kita kalau belum ikut serta dalam berjuang dan berkorban.
Waffaqanallahu Waiyyakum ajma'in.
Komentar
Posting Komentar