BERGURU KEPADA SALAF (16)

*BERGURU KEPADA SALAF (16)*

Oleh: Irsyad Syafar

Diantara nikmat Allah dan kasih sayangNya kepada para hambaNya adalah dengan menyediakan musim-musim kebaikan. Itulah hari-hari yang Allah istimewakan dalam pahala dan kemuliaan. Bulan Ramadhan adalah musim kebaikan terpanjang dalam satu tahun dengan berbagai limpahan rahmat dan karuniaNya. Dimana Allah mencurahkan seluruh karunianya, keberkahan, pahala yang berlipat ganda, ampunan dosa dan kebebasan dari adzab neraka. Dan itu diberikan setiap malam. Rasulullah Saw bersabda:


ﻭَ ﻟِﻠَّﻪِ عُتَقَاءُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَ ﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ

Artinya: "Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam." (HR. At-Tirmidzi, Hasan, lihat Al-Misykat no. 1960)

Bila datang musim kebaikan tersebut, generasi salaf berpacu dan berlomba dalam meraihnya. Merekalah generasi yang paling memahami kemuliaan bulan penuh berkah ini. Sehingga mereka jugalah generasi yang paling baik dalam memuliakannya. Mereka mengisinya dengan ibadah terbaik dan amalan termulia. Dan mereka dalam kondisi semangat dan "ambisi" terpuncak untuk setiap peluang kebaikan yang tersedia. 

Ketika berkompetisi dalam amal shaleh tersebut, mayoritas generasi salaf merahasiakan amal-amal terbaik mereka. Sehingga tidak banyak orang yang tahu akan kemuliaan yang telah mereka lakukan. Namun demikian, masih tetap saja sebagian kebaikan tersebut dapat tercatat dengan baik dalam tulisan para ulama yang menjadi murid-murid mereka, atau yang "kebetulan" menyaksikan sendiri amalan tersebut. 

Hamad bin Zaid menceritakan tentang gurunya Ayyub As Sikhtiyani, seorang tabi'in yang mulia, bagaimana sang guru selalu berupaya menyembunyikan kebaikannya. Hamad berkata, "Adalah Ayyub bila memaparkan sebuah hadits lalu hatinya tersentuh dengan hadits tersebut, dia segera memalingkan wajahnya lalu mengeluarkan ingusnya dan berkata, "Waduh, flu berat ini" demi menyembunyikan tangisannya." (dari kitab shifatus Shafwah).

Namun begitu, Imam Jamaluddin Abu Faraj Abdurrahman bin Ali (597 H) dalam kitabnya Al Muntazham fii Taarikh Al Muluk wal Umam menukilkan juga tetang keshalehan Ayyub As Sikhtiyani. Beliau menuliskan: "Beliau adalah orang yang Tsiqah (sangat terpecaya), Tsabit (Kuat hafalannya) dan Wara' (sangat berhati-hati). Beliau berhaji 40 kali." Al Hasan mengatakan tentang Ayyub: "Beliau adalah pemimpin para pemuda seluruh Bashrah." Sedangkan Imam Sufyan bin 'Uyainah mengatakan, "Aku telah bertemu dengan 86 orang tabi'in. Aku belum lihat yang sekaliber dengan Ayyub."

Muhammad bin A'yun menceritakan tentang Abdullah bin Mubarak dalam sebuah perjalanan: "Suatu malam ketika kami dalam peperangan melawan Romawi, Muhammad bin Mubarak merebahkan badannya sehingga kelihatan sudah tertidur. Sedangkan aku duduk dengan tombak di tangan. Dan aku sandarkan kepalaku di atas tombak seolah-olah aku juga telah tidur. Lalu aku lihat Beliau bangkit dari tidurnya dan shalat malam sampai terbit fajar. Kemudian beliau membangunkan aku (dikiranya aku tidur): "Bangun wahai Muhammad!" Aku menjawab, " Aku tidak tidur." Beliau terkaget setelah tahu bahwa aku tidak tidur dan menyaksikan langsung ibadahnya. Semenjak itu beliau tidak mau lagi berbicara denganku, bahkan tidak lagi ramah kepadaku. Seolah-olah dia tidak nyaman amal ibadahnya aku ketahui."

Muhammad bin Aslam bin Salim At Thusiy, seorang ulama hadits abad ke 3 hijriyah yang terkenal 'alim dan zaahid, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai orang yang lebih 'Alim dari Imam Waqi' (gurunya Imam Syafi'i), pernah berkata: "Jika aku sanggup melakukan ibadah sunnah tanpa diketahui sama sekali oleh dua Malaikatku, niscaya itu akan aku lakukan, karena aku takut akan riya." Sudah begitu hati-hatinya Beliau dalam merahasiakan kebaikannya, namun kita akan temukan pujian ulama-ulama besar tentang keshalehan dan kemuliaannya.

Ishaq bin Rahawaih mengatakan: "Aku belum mendengar semenjak 50 tahun yang lalu, orang yang paling kuat berpegang dengan sunnah Nabi sehebat Muhammad bin Aslam." Ibnu Khuzaimah mengatakan: "Kami menerima riwayat dari orang yang belum pernah kedua mata ini melihat orang yang sehebat Beliau, Abu Abdullah Muhammad bin Aslam." Muhammad bin Raafi' berkata: "Aku masuk bertemu dengan Muhammad bin Aslam. Maka aku tidak serupakan beliau melainkan dia itu mirip para sahabat Rasul."

Begitu juga Imam Hasan Al Bashri menceritakan kondisi para salaf dalam "merahasiakan" keshalehannya. Beliau berkata: "Jika ada seseorang dari mereka itu yang hafal seluruh Al Quran, tetangganya-pun tidak tahu. Ada seseorang diantara mereka sangat faqih (paham ilmu fiqh) dalam hukum Islam, tapi banyak orang yang tidak tahu. Jika ada salah seorang mereka shalat sunnat yang begitu panjang di rumahnya, sementara ada tamu ke rumahnya, para tamupun tidak merasakan itu. Sungguh kami telah mendapati sekelompok kaum, tidak ada satupun amal kabaikan di muka bumi ini, bila masih mampu mereka kerjakan secara rahasia, maka mereka tak akan jadikan itu terang-terangan." (Dari kitab Zuhud karya Ibnu Mubarak).

Begitulah memang generasi salaf dalam beramal shaleh, mereka telah menerima bimbingan dari Rasulullah Saw tentang bagaimana keistimewaan amal shaleh yang tersembunyi itu. Akan menjadi salah satu kelompok yang dinaungi oleh Allah kelak di akhirat dengan naunganNya, di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah saja:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ

Artinya: "Dan seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya." (HR Bukhari dan Muslim).


Pelajaran
======== 

1. Kebanyakan dari generasi salaf menganggap ibadah dan amal shaleh itu urusan privat mereka. Terutama ibadah-ibadah sunnat. Makanya mereka berusaha semaksimal mungkin untuk merahasiakannya, agar keikhlasan mereka terus terjaga dan mereka terhindar dari penyakit riya, senang dipuji dan nifaq. Itu semua adalah penyakit-penyakit yang menjadi jalur masyuknya syetan untuk merusak ibadah kita.

Berbanding terbalik dengan kita generasi belakangan. Sepertinya kita berlomba-lomba menampilkan amal shaleh kita. Media sosial telah menipu kita sehingga begitu banyak ibadah-ibadah "sederhana" kita terpublish kemana-mana. Kita berpuasa, berbuka, shalat tarawih, berdoa, berhaji dan umrah, dan lain-lain sebagainya, semua kita kabarkan kepada dunia.

2. Generasi salaf juga memiliki amalan nyata (tidak rahasia) yang juga sangat banyak dan bernilai tinggi. Buktinya karya-karya kebaikan mereka memenuhi buku-buku para ulama yang menceritakan kehidupan mereka. Imam Adz Dzahabi menuliskan Kitab Siyar A'lam An Nubala, yang menceritakan para Sahabat, Tabi'in, Tabi' Tabi'in dan para Khalifah dan tokoh-tokoh Islam panutan, dalam lebih dari 35 jilid besar. 

Begitu juga kitab "Thabaqaat" yang menuliskan levelisasi para ulama dalam berbagai disiplin ilmu. Hampir semua madzhab memiliki kitab "Thabaqat". Ada kitab Thabaqat Syafi'iyyah tentang Ulama-ulama dalam madzhab Syafi'i. ada juga Thabaqat Hanabilah yang berisi tentang ulama-ulama madzhab Hambali. Dan begitu seterusnya. Yang paling terkenal dan yang tertua sampai kepada kita adalah kitab Thabaqat Al Kabir karya Ibnu Sa'ad.

Masih banyak lagi kitab-kitab besar yang menuliskan riwayat hidup orang-orang shaleh generasi terbaik umat ini. Seperti kitab Shifatus Shafwah karya Imam Ibnul Jauzi, Usdul Ghabah karya Ibnul Atsir, Al Ishabah karya Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Isti'ab karya Ibnu Abdil Barr, Al Hulliyah karya Abu Nu'aim dan lain-lain.

3. Dan adalah nikmat Allah juga bagi kita generasi khalaf dapat membaca dan mendalami kehidupan generasi terbaik umat ini, agar memiliki teladan yang dapat dijadikan acuan. Kalau kita tidak tahu amalan puncak orang lain kita bisa geer. Kita mengira sudah menjadi yang terbaik. Padahal ternyata setelah kita banding-bandingkan dengan mereka, amalan kita masing sangat sedikit. 

Rasulullah Saw mengajarkan bahwa; "Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian. Hal itu lebih layak membuat kalian tidak mengingkari nikmat Allah yang ada pada kalian." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Para ulama menjelaskan hadits ini, dalam urusan duniawi kita harus melihat orang-orang yang jauh lebih miskin, lebih susah dari kita, agar kita tetap bersyukur. Adapun dalam urusan akhirat dan agama, maka kita harus melihat orang yang di atas kita kualitasnya, agar kita terus menambah keshalehan dan tidak pernah merasa puas.

Wallahu A'laa wa A'lam.

Komentar