Mewariskan Komitmen Dakwah

*Mewariskan Komitmen Dakwah*

Dikutip dari  buku *Tarbiyah di Rumah Kita*

"Aku nggak ingin seperti abi dan umi!" Pernah mendengar kalimat semacam ini, langsung atau tak langsung? Atau pernah mendengar suara kepedihan dari para orang tua soal anak, khususnya remajanya? Saya pernah.

"Adalah mengherankan kala ada orang yang tidak mengetahui sesuatu pun tentang tarbiyah atau enggan membaca buku tentang mendidik anak, lalu mengeluh tentang sulitnya mendidik anak-anak dan sulitnya memahami mereka," demikian Syaikh Abdurrahman Dahy menuturkan dalam Mewariskan Komitmen Dakwah.

Saya sih setuju pakai banget pada kalimat itu.

Kebutaan tarbiyah adalah awal dari masalah sulit nya mewariskan komitmen dakwah. Ketidakmengertian, mungkin juga ketidakpedulian, orangtua pada pendidikan anak-anak adalah hal yang bisa ditunjuk dalam topik ini.

Hanya saja, yang dimaksud dengan kebutaan tarbiyah, menurut Syaikh Abdurrahman Dahy, bukan semata soal nihilnya tarbiyah. Bukan semata soal tidak adanya konsep pendidikan saja yang dimaksud dengan kebutaan tarbiyah.

Ada dua jenis lagi yang lebih perlu mendapat perhatian. Pertama, sekadar meniru pola tarbiyah yang pernah diterima olehnya dahulu, lalu menerapkan pada anak-anaknya tanpa pengembangan dan kreasi. Kedua, menerapkan pola pendidikan yang sama pada setiap anak-anaknya tanpa modifikasi dan penyesuaian. Kedua jenis ini dikelompokkan sebagai kebutaan tarbiyah oleh Syaikh Abdurrahman Dahy.

Bukankah dua jenis terakhir itu adalah jenis yang lebih mungkin terjadi? Bukankah dua jenis itu yang lebih melenakan? Dan bukankah itu yang lebih mematikan? Lalu bagaimana kita boleh mengabaikan sesuatu yang sangat mungkin terjadi, yang melenakan, dan yang mematikan?

"Tidak semua orang yang membeli mobil dapat menyetir. Demikian pula, tidak setiap orang yang bisa melahirkan anak adalah murabbi dan pendidik bagi anak-anaknya," demikian Syaikh Abdurrahman Dahy menjelaskan. Tidak semua aktivis -taken for granted- adalah murabbi bagi anak-anaknya. Pahit memang, tapi nyata. 

Di era 70-an dan 80-an, muncul warna baru ke. bangkitan Islam di kampus-kampus ternama di negeri ini. Lalu, sewajarnya, para aktivis itu pun menikah, se. bagiannya menikahi aktivis lainnya. Maka, diper kirakan, awal abad ke-21 adalah masa-masa kemun-culan generasi biologis sekaligus ideologis dari para aktivis era 70 dan 80-an itu. Tetapi, ternyata tidak.

Mengapa? Mengapa harapan itu justru menjadi beban?

Syaikh Abdurrahman Dahy mencoba menjawab.

Beliau mengupas 'jeroan' keluarga aktivis itu. Mulai menyoroti soal kekacauan keluarga dan cacat-nya niat menikah para aktivis itu, sampai 'menelan-jangi' soal kecintaan dunia yang menyergap para aktivis. Tak luput dari ulasan Syaikh Abdurrahman Dahy adalah soal kekerasan, krisis keteladanan, dan abainya para aktivis memperhatikan tarbiyah nafsiah/mental dan lebih sibuknya mereka pada aspek penampilan semata.

Anak-anak para aktivis dakwah mengalami variasi dari 3 (tiga) hal dalam kehidupannya. Pertama, tekanan lingkungan. Kedua, kemudahan dari lingkungan. Ketiga, diabaikan oleh ayah dan ibunya yang sibuk berdakwah. Bisa satu, bisa dua, atau semua menimpa anak-anak itu. Bisa saja anak-anak itu terbebani nama besar orangtuanya, dan/atau dimanjakan oleh sekolah, tetangga, kolega, atau rekanan orangtuanya demi kedekatan dan keuntungan materi bisa dekat dengan orang tuanya, dan bisa sekaligus terabaikan di tengah kesibukan orangtuanya.

"Aku tak mau seperti abi dan umi!" Sebuah kalimat pendek yang seharusnya bisa mengoreksi sekian hal dari kehidupan para aktivis. Kecuali aktivis yang sedang tak merasa perlu mewaspadai dan mengoreksi diri. Hidup adalah soal mewariskan komitmen dakwah, melahirkan pejuang, dan upaya memberi jaminan bagi keberlangsungan dakwah. Bukankah hidup adalah rangkaian penciptaan uzur kita kelak di hari kemudian?

Komentar