**Game Kekerasan, Perundungan, dan Keharmonisan Keluarga*
*By : Muhammad Iqbal, Ph.D Psikolog*
*Associate Professor Universitas Paramadina*
Masyarakat dikejutkan oleh peristiwa ledakan di Masjid SMA 72 Jakarta Utara yang menyebabkan puluhan siswa mengalami luka, baik ringan maupun berat, termasuk terduga pelaku. Kekerasan dalam lingkungan sekolah bukanlah fenomena baru. Di berbagai negara, kasus murid yang menyerang guru atau teman akibat dendam, tekanan sosial, dan perundungan sudah terjadi berulang kali.
Beberapa di antaranya menjadi inspirasi pelaku kasus-kasus kekerasan lain:
1. Eric Harris & Dylan Klebold – Pembantaian Columbine High School, Colorado (1999).
2. Dylann Storm Roof – Penembakan massal Gereja Emanuel AME, Carolina Selatan (2015).
3. Alexandre Bissonnette – Penembakan di Pusat Kebudayaan Islam Quebec (2017).
4. Vladislav Roslyakov – Serangan di Politeknik Kerch, Crimea (2018).
5. Brenton Tarrant – Teror dua masjid di Christchurch, Selandia Baru (2019).
6. Natalie Lynn Rupnow – Penembakan di Abundant Life Christian School, Wisconsin (2024).
Dalam banyak kasus, terdapat *faktor penarik* berupa paparan internet, media sosial, dan game kekerasan, serta *faktor pendorong* berupa perundungan dan kondisi keluarga yang tidak harmonis, khususnya pada anak-anak dengan orang tua bercerai atau pekerjaan orang tua yang membuat anak kurang pengasuhan emosional.
_____
*Perundungan di Lingkungan Pendidikan*
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus perundungan meningkat dan bahkan menyebabkan kematian. Di antaranya:
1. Santri Pondok Pesantren di Lombok meninggal akibat perundungan.
2. Mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro bunuh diri karena tekanan dan pemerasan senior.
3. Siswa SMPN 12 Krui, Tanjung Jati, Lampung meninggal setelah ditusuk temannya.
4. Murid SMPN 1 Geyer Grobogan tewas dalam perkelahian setelah diejek.
5. Mahasiswa FISIP Universitas Udayana meninggal setelah melompat dari lantai 2.
6. Siswi MTs Sukabumi bunuh diri karena perundungan dan meninggalkan surat untuk orang tua.
Melihat pola ini, kondisi *darurat perundungan* di sekolah harus menjadi perhatian serius. Dalam kasus SMA 72, perilaku pelaku dapat dijelaskan melalui teori frustrasi-agresif: ada kemarahan yang terakumulasi akibat keluarga tidak harmonis dan perundungan yang dialami.
Perceraian orang tua, kurangnya kehadiran emosional ibu atau ayah, dan tekanan di sekolah dapat melahirkan kondisi psikologis penuh kemarahan, minder, dan keputusasaan.
_____
*1. Teori Frustrasi–Agresi (Dollard et al.)*
Menurut *Frustration–Aggression Hypothesis*, agresi muncul ketika seseorang mengalami frustrasi berat dan tidak mampu menyalurkannya secara sehat. Frustrasi yang meningkat tanpa dukungan keluarga atau lingkungan dapat berubah menjadi agresi destruktif.
Dollard menjelaskan bahwa *"frustrasi selalu menimbulkan agresi, dan agresi terjadi semata-mata karena frustrasi."*
Dalam konteks pelaku SMA 72, perundungan + keluarga tidak harmonis = tekanan mental yang meningkat, tanpa kanal penyaluran yang sehat.
_____
*2. Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)*
Bandura menegaskan bahwa agresi *dipelajari*. Anak mengamati, meniru, dan mengulangi perilaku yang ia lihat mendapat "penguatan". Game kekerasan, media sosial, dan konten balas dendam menyediakan model perilaku yang *ditiru*.
Menurut Bandura:
* Perilaku agresif bukan bawaan lahir.
* Anak belajar dari keluarga, teman sebaya, dan media.
* Pengalaman sebagai korban perundungan dapat membuat anak mencari "solusi" melalui kekerasan yang ia lihat di media.
Game yang memberi reward ketika menyerang musuh dapat memperkuat pola agresi secara tidak langsung.
_____
*3. Perceraian Orang Tua & Kelekatan (Attachment)*
Dalam teori *attachment*, anak membutuhkan kelekatan yang aman (*secure attachment*) untuk perkembangan emosi yang stabil. Perceraian atau keluarga tidak harmonis dapat melahirkan:
* rasa ditinggalkan,
* kecemasan,
* ketidakmampuan mengelola emosi,
* kemudahan tersulut amarah.
Kondisi ini menjadi "bahan bakar" ketika anak mengalami perundungan di sekolah.
_____
*Penelitian tentang Game Kekerasan*
Secara ilmiah, hubungan game kekerasan dan agresi *tidak linear* dan masih diperdebatkan.
*Apa kata riset?*
*1) Task Force APA – Calvert et al. (2017)*
Paparan game kekerasan *meningkatkan sedikit* pikiran agresif dan *menurunkan empati*, tetapi tidak cukup kuat untuk disebut penyebab kekerasan langsung.
*2) Meta-analisis Ferguson & Copenhaver (2020)*
Efek game kekerasan terhadap agresivitas nyata sangat kecil dan tidak konsisten.
*3) Greitemeyer & Mügge (2014)*
Kompetisi, ejekan, dan kemarahan dalam bermain sering lebih berpengaruh dibanding konten game itu sendiri.
*4) Gaming Disorder – WHO (2019, ICD-11)*
Yang lebih berbahaya dari game bukan kekerasannya, tetapi:
* kecanduan,
* gangguan tidur,
* penurunan akademik,
* penarikan sosial.
*5) Prevalensi IGD – Stevens et al. (2021)*
Sekitar 6–8% gamer mengalami *gaming disorder* di seluruh dunia.
*6) Perilaku Toxic Play – Chatzakou et al. (2017)*
Permainan daring sering diwarnai ejekan, hinaan, dan "flaming" yang dapat memperburuk kesehatan mental remaja.
_____
*Kesimpulan*
Dalam kasus SMA 72, *keluarga menjadi faktor moderator* yang sangat kuat. Intensitas bermain game dan perundungan *tidak otomatis* menghasilkan kekerasan. Tetapi ketika digabung dengan:
* keluarga yang tidak harmonis,
* pola asuh minim komunikasi,
* kurang dukungan emosional,
* dan tekanan sosial sekolah,
…maka risiko agresi meningkat tajam.
Sebaliknya, anak dari keluarga yang hangat, komunikatif, dan memiliki kelekatan aman cenderung bisa menyelesaikan konflik dengan cara sehat, sekalipun ia mengalami perundungan atau sering bermain game.
Kuncinya tetap sama:
*keluarga yang hadir, hangat, dan komunikatif adalah benteng pertama pencegah kekerasan.***By : Muhammad Iqbal, Ph.D Psikolog*
*Associate Professor Universitas Paramadina*
Masyarakat dikejutkan oleh peristiwa ledakan di Masjid SMA 72 Jakarta Utara yang menyebabkan puluhan siswa mengalami luka, baik ringan maupun berat, termasuk terduga pelaku. Kekerasan dalam lingkungan sekolah bukanlah fenomena baru. Di berbagai negara, kasus murid yang menyerang guru atau teman akibat dendam, tekanan sosial, dan perundungan sudah terjadi berulang kali.
Beberapa di antaranya menjadi inspirasi pelaku kasus-kasus kekerasan lain:
1. Eric Harris & Dylan Klebold – Pembantaian Columbine High School, Colorado (1999).
2. Dylann Storm Roof – Penembakan massal Gereja Emanuel AME, Carolina Selatan (2015).
3. Alexandre Bissonnette – Penembakan di Pusat Kebudayaan Islam Quebec (2017).
4. Vladislav Roslyakov – Serangan di Politeknik Kerch, Crimea (2018).
5. Brenton Tarrant – Teror dua masjid di Christchurch, Selandia Baru (2019).
6. Natalie Lynn Rupnow – Penembakan di Abundant Life Christian School, Wisconsin (2024).
Dalam banyak kasus, terdapat *faktor penarik* berupa paparan internet, media sosial, dan game kekerasan, serta *faktor pendorong* berupa perundungan dan kondisi keluarga yang tidak harmonis, khususnya pada anak-anak dengan orang tua bercerai atau pekerjaan orang tua yang membuat anak kurang pengasuhan emosional.
_____
*Perundungan di Lingkungan Pendidikan*
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus perundungan meningkat dan bahkan menyebabkan kematian. Di antaranya:
1. Santri Pondok Pesantren di Lombok meninggal akibat perundungan.
2. Mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro bunuh diri karena tekanan dan pemerasan senior.
3. Siswa SMPN 12 Krui, Tanjung Jati, Lampung meninggal setelah ditusuk temannya.
4. Murid SMPN 1 Geyer Grobogan tewas dalam perkelahian setelah diejek.
5. Mahasiswa FISIP Universitas Udayana meninggal setelah melompat dari lantai 2.
6. Siswi MTs Sukabumi bunuh diri karena perundungan dan meninggalkan surat untuk orang tua.
Melihat pola ini, kondisi *darurat perundungan* di sekolah harus menjadi perhatian serius. Dalam kasus SMA 72, perilaku pelaku dapat dijelaskan melalui teori frustrasi-agresif: ada kemarahan yang terakumulasi akibat keluarga tidak harmonis dan perundungan yang dialami.
Perceraian orang tua, kurangnya kehadiran emosional ibu atau ayah, dan tekanan di sekolah dapat melahirkan kondisi psikologis penuh kemarahan, minder, dan keputusasaan.
_____
*1. Teori Frustrasi–Agresi (Dollard et al.)*
Menurut *Frustration–Aggression Hypothesis*, agresi muncul ketika seseorang mengalami frustrasi berat dan tidak mampu menyalurkannya secara sehat. Frustrasi yang meningkat tanpa dukungan keluarga atau lingkungan dapat berubah menjadi agresi destruktif.
Dollard menjelaskan bahwa *"frustrasi selalu menimbulkan agresi, dan agresi terjadi semata-mata karena frustrasi."*
Dalam konteks pelaku SMA 72, perundungan + keluarga tidak harmonis = tekanan mental yang meningkat, tanpa kanal penyaluran yang sehat.
_____
*2. Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)*
Bandura menegaskan bahwa agresi *dipelajari*. Anak mengamati, meniru, dan mengulangi perilaku yang ia lihat mendapat "penguatan". Game kekerasan, media sosial, dan konten balas dendam menyediakan model perilaku yang *ditiru*.
Menurut Bandura:
* Perilaku agresif bukan bawaan lahir.
* Anak belajar dari keluarga, teman sebaya, dan media.
* Pengalaman sebagai korban perundungan dapat membuat anak mencari "solusi" melalui kekerasan yang ia lihat di media.
Game yang memberi reward ketika menyerang musuh dapat memperkuat pola agresi secara tidak langsung.
_____
*3. Perceraian Orang Tua & Kelekatan (Attachment)*
Dalam teori *attachment*, anak membutuhkan kelekatan yang aman (*secure attachment*) untuk perkembangan emosi yang stabil. Perceraian atau keluarga tidak harmonis dapat melahirkan:
* rasa ditinggalkan,
* kecemasan,
* ketidakmampuan mengelola emosi,
* kemudahan tersulut amarah.
Kondisi ini menjadi "bahan bakar" ketika anak mengalami perundungan di sekolah.
_____
*Penelitian tentang Game Kekerasan*
Secara ilmiah, hubungan game kekerasan dan agresi *tidak linear* dan masih diperdebatkan.
*Apa kata riset?*
*1) Task Force APA – Calvert et al. (2017)*
Paparan game kekerasan *meningkatkan sedikit* pikiran agresif dan *menurunkan empati*, tetapi tidak cukup kuat untuk disebut penyebab kekerasan langsung.
*2) Meta-analisis Ferguson & Copenhaver (2020)*
Efek game kekerasan terhadap agresivitas nyata sangat kecil dan tidak konsisten.
*3) Greitemeyer & Mügge (2014)*
Kompetisi, ejekan, dan kemarahan dalam bermain sering lebih berpengaruh dibanding konten game itu sendiri.
*4) Gaming Disorder – WHO (2019, ICD-11)*
Yang lebih berbahaya dari game bukan kekerasannya, tetapi:
* kecanduan,
* gangguan tidur,
* penurunan akademik,
* penarikan sosial.
*5) Prevalensi IGD – Stevens et al. (2021)*
Sekitar 6–8% gamer mengalami *gaming disorder* di seluruh dunia.
*6) Perilaku Toxic Play – Chatzakou et al. (2017)*
Permainan daring sering diwarnai ejekan, hinaan, dan "flaming" yang dapat memperburuk kesehatan mental remaja.
_____
*Kesimpulan*
Dalam kasus SMA 72, *keluarga menjadi faktor moderator* yang sangat kuat. Intensitas bermain game dan perundungan *tidak otomatis* menghasilkan kekerasan. Tetapi ketika digabung dengan:
* keluarga yang tidak harmonis,
* pola asuh minim komunikasi,
* kurang dukungan emosional,
* dan tekanan sosial sekolah,
…maka risiko agresi meningkat tajam.
Sebaliknya, anak dari keluarga yang hangat, komunikatif, dan memiliki kelekatan aman cenderung bisa menyelesaikan konflik dengan cara sehat, sekalipun ia mengalami perundungan atau sering bermain game.
Kuncinya tetap sama:
*keluarga yang hadir, hangat, dan komunikatif adalah benteng pertama pencegah kekerasan.*
Komentar
Posting Komentar